Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PUASA DAN PERMASALAHANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Konsepsi puasa dalam pemaknaan istilah seringkali dimaknai dalam pengertian sempit sebagai suatu prosesi menahan lapar dan haus serta yang membatalkan puasa yang dilakukan pada bulan ramadhan. Padahal hakekat puasa yang sebenarnya adalah menahan diri untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.

Selain itu, puasa juga memberikan ilustrasi solidaritas muslim terhadap umat lain yang berada pada kondisi hidup miskin. Dalam konteks ini, interaksi sosial dapat digambarkan pada konsepsi lapar dan haus yang dampaknya akan memberikan kemungkinan adanya tenggang rasa antar umat manusia.

Pengkajian tentang hakekat puasa ini dapat dikatakan universal dan meliputi seluruh kehidupan manusia baik kesehatan, interaksi sosial, keagamaan, ekonomi, budaya dan sebagainya. Begitu universal dan kompleksnya makna puasa hendaknya menjadi acuan bagi muslim dalam mengimplementasikannya pada kehidupan sehari-hari. Dengan pengertian lain puasa dapat dijadikan pedoman hidup.

B.  Rumusan masalah
1.    Apa pengertian puasa itu ?
2.    Bagaimana tatacara pelaksanaan puasa itu ?
3.    Mengapa umat muslim disyari’atkan untuk berpuasa ?


BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian Puasa

Shaum (puasa) berasal dari kata bahasa arab yaitu shaama-yashuumu-shiyaaman yang bermakna menahan atau sering juga disebut al-imsak. Yang dimaksud menahan, imsâk di sini adalah menahan diri dari makanan, minuman, dan hubungan suami-isteri (setubuh, jimâ') sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.[1]

Firman Allah: "Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu, makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam" (QS. 2. al-Baqarah: 187)[2]

Sedangkan menurut syara’ adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, karena perintah Allah semata-mata dengan disertai niat dan syarat-syrat tertentu.[3]

Berdasarkan berbagai pengertian diatas dapat dikatakan bahwa puasa pada dasarnya mengandung pengertian menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh syariat agama. Dasar hukum Puasa tersebut dinyatakan berdasarkan sabda Nabi yang dinyatakan dalam hadist   bahwa Islam di bangun atas lima tiang (Rukun Islam).

عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : بني الإسلام على خمسٍ ؛ شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة، وحج البيت، وصوم رمضان

Artinya :
Dari Abu Abdirrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khathab radhiallahu 'anhuma berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda: "Islam didirikan diatas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah secara benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah dan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat dan mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada bulan ramadhan". [HR Bukhari Muslim]

2.    Tatacara Pelaksanaan Puasa
a.    Syarat wajib puasa

1.    Islam
Orang kafir tidak berkewajiban berpuasa, karena puasa adalah suatu ibadah sedangkan orang kafir bukanlah ahli ibadah, karenanya tidak berkewajiban berpuasa. Kalau orang kafir berpuasa maka puasanya tidak sah.[4]

2.    Berakal
Orang gila tidak wajib berpuasa

3.    Baligh
Orang yang sudah berusia 15 tahun atau telah ada tanda-tanda baligh yang lain, seperti keluar mani bagi laki-laki, atau keluar darah haid bagi perempuan yang berumur sekurang-kurangnya 9 tahun. Maka anak-anak tidak wajib berpuasa.

4.    Mampu berpuasa
Orang yang lemah karena terlalu tua atau sakit yang dapat membawa madarat pada dirinya dengan sebab berpuasa, maka tidak diwajibkan berpuasa baginya.

b.    Syarat sah puasa
1.    Islam

2.    Mumayyiz
Mumayyiz adalah orang yang sudah tahu membedakan antara suci dan kotornya sesuatu; mengetahui cara,syarat dan sahnya suatu ibadah. Termasuk juga dalam hal ini tahu menilai sesuatu itu bernilai atau tidak.

3.    Suci dari haid dan nifas
Perempuan yang sedang haid ataun nifas tidak sah berpuasa. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk mengganti jumlah puasa yang ditinggalkannya pada bulan yang lain.

4.    Dalam waktu yang dibolehkan berpuasa.[5]


c.    Rukun puasa
1.    Niat

Niat, yaitu menyengaja puasa ramadhan setelah terbenam matahari hingga sebelum fajar shadiq.

Batasan waktu dari niat puasa para ulama fiqih berbeda pendapat diantaranya. Imam Malik dan Al-Laits bin Saad berpendapat bahwa niat hendaklah dilakukan pada malam hari hingga terbit fajar, baik untuk puasa fardhu ataupun puasa sunnah. menurut pendapat Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, waktu niat puasa fardhu adalah pada sebagian malam. Sementara itu niat puasa sunnah boleh dilakukan pada waktu malam hari atau siang hari.

Menurut pendapat Imam Hanafi, waktu niat untuk puasa sunnah dan puasa fardhu yang ditentukan waktunya boleh pada sebagian malam dan siang, yaitu sebelum tergelincir matahari. Sedangkan untuk puasa yang tidak ditentukan waktunya, niatnya adalah sebelum terbit fajar.

Oleh karena itu jelaslah bahwa sebaik-baiknya niat dilakukan pada waktu malam hari, ini salah satu cara untuk mencegah kelupaan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah cukup seseorang itu berniat satu malam saja? Atau apakah niat itu wajib dilakukan setiap malam?

Menurut pendapat pengikut mazhab Maliki dan Ishak, niat pada satu malam saja itu dianggap sah, sehingga niat untuk malam-malam berikutnya tidak wajib, namun disunnahkan untuk dilakukan.

Menrut pendapat ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i, serta jumhur ulama adalah wajib hukumnya berniat pada setiap malam.[6]

2.    Meninggalakan sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari

d.   Hal-hal yang membatalkan puasa
1.    Hal-hal yang membatalkan puasa dan hanya diwajibkan qadha :

a)    Muntah dengan sengaja
Muntah dengan sengaja itu dapat membatalkan puasa, walaupun tidak ada yang kembali kedalam perut. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda: “barang siapa yang tidak sengaja muntah maka tidak diwajibkan mengqadha puasanya, dan barang siapa muntah dengan sengaja maka harus mengqadha puasanya”.[7]

b)   Mengeluarkan sperma bukan melalui persetubuhan
Mengeluarkan sperma bukan melalui persetubuhan dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja maka batal puasanya. Adapun keluar sperma karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluarnya tanpa disengaja.[8]

Menurut pendapat Imam Maliki Dan Imam Ahmad, seandainya seseorang itu memandang istrinya berulang kali, atau memikirkan sesuatu yang dapat mengakibatkan keluarnya sperma, maka batallah puasanya.

Sedangkan pengikut Mazhab Syafii Dan Hanafi berpendapat hal itu tidak membatalkan puasa. Namun, jika sudah menjadi kebiasaan bagi seseorang bila melakukan perbuatan tersebut  keluar spermanya maka batallah puasanya. Karena menurut pengikut kedua mazhab ini dia dianggap melakukan perbuatan itu dengan sengaja sebagaimana orang yang mengeluarkan spermanya dengan melakukan perbuatan yang tidak lazim.

Adapun mengenai keluarnya madzi, tidak membatalkan puasa. Karena madzi sama dengan air kencing. Namun demikian ada orang yang nafsu seksnya demikian besar, sehingga ia sulit menguasai diri apabila melihat atau menyentuh perempuan. Kondisi ini dianggap sebagai keganjilan (keluar dari hukum umum).

Menurut ulama fiqih kecuali ulama Mazhab Maliki, orang seperti itu tidak batal puasanya, sekalipun keluar sperma. begitu juga dengan keadaan seseorang yang pikirannya senantiasa terarah kepada perempuan, tapi kalu dia meneruskan hayalannya terhadap perempuan sehingga keluar sperma, maka batal puasanya.[9]

c)    Ragu
Seseorang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena mengira diperbolehkan, maka batal puasanya, menurut pendapat imam yang empat dan sebagian ulama fiqih, orang itu wajib mengqodha puasanya keadaan itu terjadi karena hal-hal berikut:

1)   batal puasa orang yang sahur karena ia mengira hari masih malam, padahal fajar sudah terbit.

2)   batal puasa orang yang berbuka karena ia mengira hari matahari sudah terbenam, padahal belum.

3)   Bagi orang yang ragu apakah matahari sudah terbit atau belum ia boleh sahur sehingga yakin bahwa matahari sudah terbit dan orang yang ragu apakah matahari sudah terbenam apa belum, tidak boleh berbuka sampai ia yakin bahwa matahari sudah terbenam.

4)   Batal puasa orang yang makan atau minum dalam keadaan terlupa, karena mengira perbuatan itu membatalkan puasa, lantas dia meneruskan makan dan minum dengan sengaja. Ulama Mazhab Hanafi,Syafi’i Dan Ahmad menganggap orang tersebut wajib mengqodha puasanya.

d)   Haid Dan Nifas
Batal puasa perempuan yang sedang haid atau nifas dan ia di wajibkan mengqodha puasa.

e)     Murtad
Menurut ijma ulama,batal puasa siapa saja yang murtad atau keluar agama islam dia wajib mengqadha puasanya apabila kembali masuk islam.

f)     berubah niat
Niat puasa hendaklah dilakukan secara konsisten,sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari seandainya seseorang itu berniat membatalkan puasanya, kemudian memantapkan niatnya itu, maka batal puasanya dan wajib qadha.[10]

2.    Wajib qadha dan kafarat
a)    bersetubuh dengan sengaja
Barang siapa yang melakukan persetubuhan pada siang hari pada bulan Ramadhan sedangkan dia berpuasa, dilakukan baik dari depan atau belakang, apakah keluar sperma atau tidak, maka wajib atasnya qadha dan membayar kafarat.

Menurut pendapat Imam Syafi’i, kafarat dikenakan atas orang yang menyetubuhi saja, sedangkan orang yang di setubuhi tidak di kenakan kafarat. Karena sebab terjadinya persetubuhan tersebut adalah suami, jika suami menginginkan maka istri wajib memenuhinya, tapi jika istri yang minta maka suami boleh menolak. Maka dari itu istri tidak wajib kafarat tapi hanya mengqodho saja, dan suami wajib qodho dan kafarat.

Ulama Mazhab Hanafi berpendapat kafarat juga diwajibkan kepada istri seandainya persetubuhan itu dilakukan atas ke inginannya. Tapi dia tidak diwajibkan kafarat jika ia di paksa. Pendapat ini sama dengan pendapat  pengikut mazhab maliki.

Ulama Mazhab Hambali berpendapat wajib atas si istri membayar kafarat seandainya persetubuhan tersebut dilakukan dengan keinginannya. Tapi seandainya istri di paksa untuk melakukan persetubuhan, sebagian ulama mewajibkannya membayar kafarat, sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa si istri tidak wajib kafarat. Ia hanya wajib qadha ini merupakan kata sepakat sebagian besar ulama. Demikian juga halnya jika si istri sedang nyenyak tidur lalu di setubuhi oleh suaminya, maka wajib si istri mengqadha puasanya dan tidak wajib kafarat.[11]

Bersetubuh disiang hari bulan ramadhan adalah haram dan seandainya itu dilakukan maka pelakunya wajib mengqodho’ puasanya dan membayar kafarat. Hendaknya persetubuhan itu ditahan hingga teranglah benang putih dari benang hitam.


e.    Macam-Macam Puasa Dari Segi Hukum

1.    Puasa wajib (Fardhu)
Puasa wajib/fardhu ada tiga macam:

a)    Fardhu ‘ain, yaitu puasa yang diwajibkan Allah pada waktu tertentu, yaitu puasa ramadhan.
Puasa ramadhan adalah rukun islam yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim yang mukallaf selama satu bulan penuh (bulan Ramadhan) setiap Tahunnya. Adapun dasar hukumnya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS.Al-Baqarah: 183).

 “........ maka barangsiapa di antara kamu melihat bulan (Ramadhan) , Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu......” (QS.Al-Baqarah: 185).[12]

Apabila seseorang meninggalkan puasa ramadhan oleh sebab terlupanya niat di waktu malam hari  atau dibatalkannya karena ada halangan (udzur syar’i) atau sengaja dibatalkannya tanpa alasan yang dapat diterima secara syar’i (agama), misalnya sakit, musafir atau bekerja berat dan sebagainya. Maka diwajibkan untuk mengqodho’ puasanya. Dasar hukumnya puasa Qadha:

 “……dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain….” (QS.Al-Baqarah: 185)[13]

b)   Fardhu karena Sebab tertentu, yang menjadi hak allah SWT. Yaitu puasa kafarat misalnya, kafarat al-yamin (tebusan sumpah), kafarat azh-zhihar (tebusan zhihar), kafarat al-qatl al-khatha’ (tebusan karena pembunuhn yang salah, dll.)

Puasa Kaffarah ialah puasa penghapusan dosa karena melakukan pelanggaran berat yang seharusnya tidak di lakukannya. Pelanggaran berat yang dimaksud ialah:

1)    Sengaja membatalkan puasanya dibulan ramadhan dengan melakukan hubungan badan (jima’)
2)   Melakukan beberapa pelanggaran ketika masih dalam keadaan ihram, padahal ia tidak mampu menyembelih dam (hewan)
3)   Membunuh orang tidak sengaja.
4)   Terkena sumpahnya sendiri dengan sebab melanggarinya.
5)   Melakukan zhihar.

c)    Puasa wajib yang diwajibkan untuk dirinya sendiri, yaitu puasa nazdar.

Puasa Nadzar (kaulan) adalah puasa yang diwajibkan orang kepada dirinya sendiri dengan cara bernadzar (kaul) kepada Allah swt. Maka yang bersangkuatan harus berpuasa sesuai nadzarnya, baik cara maupun jumlahnya. Adapun dasarnya adalah:

 “….dan hendaklah mereka menepati nadzarnya…” (QS. Al Hajj:29) [14]

2.    Puasa sunnah

Puasa tathawwu’ atau sunnah ialah puasa yang apabila kita kerjakan mendapat pahala, dan apabila kita tinggalkan atau tidak kita kita kerjakan tidak berdosa.

Berikut contoh-contoh puasa sunnat:

a)    Puasa hari arafah

Disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah, dan hari itu disebut hari ‘arafah. Disunnahkannya, pada hari itu bagi selain orang yang sedang melaksanakan ibadah haji.

b)   Puasa hari-hari putih (tanggal 13,14,15) setiap bulan.

Sabda Rasulullah SAW:

“barang siapa berpuasa tiga hari dalam sebulan, maka sesungguhnya ia telah berpuasa satu tahun.” (HR. Ahmad dan Tarmidzi)[15]

c)    Puasa hari Tasu’a – ‘asyura tgl 9 dan 10 muharram

Dari Salim, dari ayahnya berkata: Nabi saw. bersabda: Hari Asyuro itu jika seseorang menghendaki puasa, maka berpuasalah pada hari itu.

d)   Puasa hari senin dan kamis

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw sering berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. Ahmad dengan sanad shahih)

e)    Puasa sehari dan berbuka sehari (puasa dawud)

Diterangkan bahwa puasa semacam ini merupakan salah satu macam puasa sunnah yang lebih utama.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amar bahwa Rasulullah saw telah bersabda; ”Puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Daud dan shalat yang paling disukai Allah adalah shalat Daud. Dia tidur sepanjang malam, bangun sepertiganya, lalu tidur seperenamnya dan ia berpuasa satu hari lalu berbuka satu hari.” (HR. Ahmad)

f)    Puasa bulan rajab, sya’ban.

Kata Aisyah, “saya melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa satu bulan penuh selain dalam bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau dalam bulan-bulan yang lain berpuasa lebih banyak dari bulan sya’ban” (riwayat Bukhari dan Muslim) [16]

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudriy bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Rajab adalah bulan Allah, sya’ban adalah bulanku dan ramadhan adalah bulan umatku. Barangsiapa yang berpuasa rajab dengan keimanan dan penuh harap maka wajib baginya keridhoan Allah yang besar, akan ditempatkan di firdaus yang tertinggi. Barangsiapa yang berpuasa dua hari dari bulan rajab maka baginya pahala yang berlipat dan setiap takarannya sama dengan berat gunung-gunung di dunia dan barangsiapa berpuasa tiga hari dari bulan rajab maka Allah akan menjadikan puasa itu sebuah parit yang lebarnya satu tahun perjalanan diantara dirinya dengan neraka…”

3.    Puasa makruh

Menurut fiqih 4 (empat) mazhab, puasa makruh itu antara lain :

a)    Puasa pada hari Jumat secara tersendiri

Berpuasa pada hari Jumat hukumnya makruh apabila puasa itu dilakukan secara mandiri. Artinya, hanya mengkhususkan hari Jumat saja untuk berpuasa.

Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Saya mendengar Nabi saw. bersabda: “Janganlah kamu berpuasa pada hari Jum’at, melainkan bersama satu hari sebelumnya atau sesudahnya.”

b)   Puasa pada hari syak (meragukan)

Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw. beliau bersabda: “Janganlah salah seorang dari kamu mendahului bulan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka berpuasalah hari itu.”[17]

4.    Puasa haram

Jika kita berpuasa maka kita akan mendapatkan dosa, dan jika kita tidak berpuasa maka sebaliknya yaitu mendapatkan pahala. Allah telah menentukan hukum agama telah mengharamkan puasa dalam beberapa keadaan, diantaranya ialah :

a)    Puasa pada dua hari raya, yakni:

1)   Hari Raya Idul Fithri(1 Syawal) dan Hari Raya Idul Adha (10 Zulhijjah)

Tanggal 1 Syawwal dan 10 Zulhijjah telah ditetapkan sebagai hari raya umat Islam. Hari itu adalah hari kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat telah mengatur bahwa di hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai pada tingkat haram. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak harus membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.

“Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari: hari Fithr dan hari Adha.”  (HR Muttafaq ‘alaihi)

2)   Hari-hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah)

Pada tiga hari itu umat Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih diharamkan untuk berpuasa.

“Sesunggunya hari itu (tsyarik) adalah hari makan, minum dan zikrullah”. (HR Muslim) ”[18]

3)   Puasa sunnah bagi istri tanpa izin suaminya

Seorang isteri bila akan mengerjakan puasa sunnah, maka harus meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Bila mendapatkan izin, maka boleh lah dia berpuasa. Sedangkan bila tidak diizinkan tetapi tetap puasa, maka puasanya haram secara syar‘i.

Dalam kondisi itu suami berhak untuk memaksanya berbuka puasa. Kecuali bila telah mengetahui bahwa suaminya dalam kondisi tidak membutuhkannya. Misalnya: ketika suami bepergian atau dalam keadaan ihram haji atau umrah atau sedang beri‘tikaf. Sabda Rasulullah SAW:

 “Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa tanpa izin suaminya sedangkan suaminya ada dihadapannya. Karena hak suami itu wajib ditunaikan dan merupakan fardhu bagi isteri, sedangkan puasa itu hukumnya sunnah.”

Kewajiban tidak boleh ditinggalkan untuk mengejar yang sunnah.

4)   puaswa dahr

Puasa dahr adalah puasa sepanjang tahun. Puasa ini dilarang oleh syara' karena diantaranya bersamaan waktunya dengan hari-hari yang diharamkan berpuasa, seperti hari raya idul fitri, idul adha, serta hari tasyrik.[19]


f.     Penentuan Hilal

Pada masa Rasulullah, masa sahabat dan tabi’in tidak pernah terjadi perbedaan dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, semuanya didasarkan atas rukyatul hilal bil fi’li (melihat hilal dengan mata kepala) atau istikmal (menggenapkan bulan Sya’ban dan Ramadhan menjadi 30 hari) apabila rukyat tidak berhasil dikarenakan cuaca mendung atau faktor lainnya. Tapi setelah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, pengertian rukyatul hilal mengalami pergeseran. Ada yang memaknainya tetap seperti semula, yaitu rukyat bil fi’li dan ada yang memaknainya dengan rukyat bil’ilmi, yakni melihat hilal dengan ilmu pengetahuan atau hisab.

Dari perbedaan makna rukyatul hilal itulah maka penetapan awal Ramadhan dan Syawal sekarang ini paling tidak ada tiga macam cara, diantaranya adalah :

1.    Metode ru’yat

Metode ru’yat (pengamatan) dilakukan dengan melihat hilal di saat menjelang maghrib, menggunakan mata telanjang atau dengan alat bantu. Metode ini adalah metode yang paling sahih sesuai dengan Al-Quran dan as-sunnah. 

صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملوا عدت شعبان ثلاثين

“Berpuasalah kalian apabila melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian apabila melihat hilal (Syawwal). Lalu apabila mendung menghalangi kalian, maka sempurnakanlah hitungan sya’ban sampai tiga puluh hari” (HR Bukhari & Muslim).

Bahwa seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah saw seraya berkata:”'Saya telah melihat hilal (Ramadhan)”, Rasulullah saw lalu bertanya: ”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, Orang itu menjawab: ”Ya”, Kemudian Nabi saw menyerukan: ”Berpuasalah kalian” (HR Abu Dawud, An-Nasa`i, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

Menurut Imam Syafi’i cukup satu orang laki-laki yang melihat hilal, sementara menurut Imam Hanafi, Maliki dan Hambali minimal disaksikan oleh dua orang laki-laki. Dalam hal ini tidak berlaku prinsip mayoritas, meskipun telah di sebar 25 titik pengamatan ru’yat tetapi jika satu atau dua orang melihat hilal maka seharusnya ditetapkan hilal sudah terlihat.[20]

2.    Metode Menyempurnakan Bilangan Bulan (Istikmal)

Metode kedua ialah dengan menyempumakan bilangan bulan Sya‘ban menjadi 30 hari, baik langit dalam keadaan cerah maupun berawan. Apabila mereka melihat bulan pada malam (magrib) tanggal 30 bulan Sya'ban kemudian tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka hendaklah mereka menyempurnakan hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:

صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملوا عدت شعبان ثلاثين

Berpuasalah kalian apabila melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian apabila melihat hilal (Syawwal). Lalu apabila mendung menghalangi kalian, maka sempurnakanlah hitungan sya’ban sampai tiga puluh hari (HR Bukhari & Muslim).

Diriwayatkan pula dari Umar bahwa Rasulullah SAW.

لا تصوموا حتي ترواالهلال ولا تفطروا حتي تروه فان غم عليكم فاقدروله

Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat tanggal (satu ramadhan) dan janganlah kamu berbuka (berlebaran) sehingga kamu melihat tanggal (satu syawal). Dan jika penglihatanmu tertutup oleh awan, maka kira- kirakanlah bulan itu.(Mutafaq ‘alaih)

Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan jumhur (mayoritas) golongan salaf dan khalaf berpendapat,  makna dari فاقدروله ialah perkirakanlah untuk menetapkan bulan itu dengan menyempurnakan bilangan Sya‘ban tiga puluh hari.

Oleh karena itu, seharusnya bulan Sya'ban sudah diketahui ketetapannya sejak awal, sehingga pada waktu bulan tidak kelihatan, maka malam ketiga puluh saat dicarinya hilal (tanggal) dan disempurnakannya bilangan Sya'ban menjadi tiga puluh hari dapat diketahui. Maka merupakan suatu kekurangan apabila penetapan masuknya bulan itu hanya dilakukan untuk tiga bulan saja, yaitu bulan Ramadhan untuk menerapkan masuknya puasa, bulan Syawal untuk menetapkan mulai keluarnya dari kewaiiban puasa. dan bulan Dzulhijjah unluk menelapkan hari Arafah dan sesudahnya. Dengan  demikian sudah seharusnya umat dan pemerintah yang bersangkutan bertindak secara cermat menerapkan semua bulan, sebab hitungan hulan yang satu didasarkan pada bulan yang lain.[21]

3.    Metode Hisab

Sementara golongan yang menggunakan hisab berpendapat bahwa hisablah yang harus digunakan dalam menetapkan awal dan akhir ramadhan. Masing – masing berpijak pada dalil-dalil syar’i berdasarkan atas interpretasi mereka.

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahu. (Q.S. Yunus : 5)

Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.

“Matahari beredar menurut perhitungan.” (QS. ar-Rahman: 5)         

Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan manjilah-manjilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan supaya kita mengetahui waktu (bulan) dan tahun sedangkan matahari agar kita mengetahui waktu (hari) dan jam. Secara tidak langsung dua ayat di atas mengandung pelajaran disyariatkannya mempelajari ilmu falak (astronomi) atau ilmu hisab untuk mengetahui waktu-waktu shalat, puasa, haji dan lainnya yang bermanfa’at bagi kaum Muslimin.

Di dalam beberapa riwayat yang sahih, diantaranya dari Nafi' dari Ibnu Umar yang merupakan untaian emas dan isnad paling sahih yang dlriwayatkan oleh Bukhari:

اذا غم عليكم فا قدروا له

“Jika penglihatanmu tertutup awan, maka kira- kirakanlah bulan itu.”

Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu', Ahmad bin Hambal dan sebagian kecil ulama mengatakan, Makna (faqduruu lahu) ialah persempitlah bulan itu dan perkirakanlah ia telah berada di bawah awan. Makna ini diambil dari kata qadara yang berarti dhayyaqa (mempersempit).

Menurut Mutharrif bin Abdullah tokoh ulama tabi'in dan Abul Abbas bin Suraij tokoh ulama Syafi'iyah serta ulama yang lainnya berkata, maknanya ialah kira-kirakanlah bulan itu menurut perhitungan manzilah (letaknya). Adapun Ibnu Arabi menukil riwayat dari  Ibnu Suraij bahwa sabda Rasulullah SAW.  faqduru lahu (Kira-kirakanlah bulan itu) ditujukan kepada orang yang diberi keistimewaan oleh Allah dengan llmu (hisab) ini. Sedangkan sabda Beliau akmiluu al-'iddata (sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban) ditujukan kepada masyarakat umum.

Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu', orang yang mengatakan dengan memperhitungkan manzilah, maka perkataannya itu tertolak. Mengingat sabda Rasulullah saw.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنّا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا يعنى مرة تسعة وعشرون ومرة ثلاثون (رواه البخاري(

“Rasulallah Saw bersabda Kita adalah umat buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pandai berhitung, sebulan itu adalah sekian dan sekian  maksudnya kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari” (HR. Al Bukhari)

Hadits yang digunakan sebagai hujjah oleh Imam Nawawi rahimahullah tidaklah tepat, karena hadits ini hanya membicarakan kondisi umat Islam pada zaman diutusnya Nabi Muhammad SAW. kepada mereka. Bahkan kebutahurufan itu bukan merupakan keharusan atau sesuatu yang dituntut. Malah Nabi SAW. sendiri telah berusaha membebaskan umat ini dari buta huruf dengan mengajarkan tulis-menulis kepada mereka yang dimulai sejak usainya perang Badar.

Namun saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang dan maju, untuk mengetahui waktu-waktu dan fenomena luar angkasa baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi dapat diperkirakan secara tepat dan mudah, sehingga dengan didukung peralatan yang canggih, hisablah yang paling akurat untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan.[22]


3.    Umat Muslim Disyari’atkan Untuk Berpuasa

Karena dalam berpuasa terdapat banyak hikmah yang terkandung didalamnya, diantaranya:

1.    Hikmah puasa secara kejiwaan adalah membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, mengajari dan membantu menguasai diri, serta mewujudkan dalam membentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri, yang ini merupakan hikmah puasa yang paling utama.

2.    Hikmah puasa secara social adalah membiasakan umat berlaku disiplin, bersatu, cinta keadilan dan persamaan, juga melahirkan perasaan kasih sayang dalam diri orang-orang beriman dan mendorong mereka berbuat kebajikan sebagaimana ia juga menjaga masyarakat dari kejahatan dan kerusakan.

3.    Hikmah puasa dari segi kesehatan adalah membersihkan usus-usus, memperbaiki kerja pencernaan, membersihkan tubuh dari sisa-sisa dan endapan makanan, mengurangi kegemukan dan kelebihan lemak di perut.

4.    Mematahkan nafsu. Karena berlebihan, baik dalam makan dan minum serta menggauli istri, bisa mendorong nafsu berbuat kejahatan dan enggan mensyukuri nikmat serta mengakibatkan kelengahan.

5.    Mengosongkan hati untuk berzikir dfan berfikir. Sebaliknya, jika berbagai nafsu sahwat di turuti maka ia bisa mmenguraskan dan membutakan hati, selanjutnya menghalangi hati untuk berzikir dan berfikir, sehingga membuatnya lengah.

6.    Orang kaya akan menjadi tau seberapa nikmat Allah atas cirinya. Allah mengarunianinya nikmat tak terhingga, pada saat yang sama banyak orang-orang miskin yang tidak mendapat makanan dan minuman.

7.    Mempersempit jalan aliran darah yang merupakan jalan setan pada diri anak adam. Karena setan masuk kepada anak adam melalui jalan aliran darah, dengan berpuasa maka dia aman dari gangguan setan, serta kekuatan nafsu syahwat dan marah akan menjadi lumpuh. Karena itu nabi muhammad saw menjadikan puasa sebagai benteng untuk menghalangi nafsu syahwat nikah sehingga beliau memerintahkan orang-orang yang belum mampu menikah dengan berpuasa.[23]



D.  ANALISIS

Pembahasan puasa sangatlah penting untuk dipelajari, mengingat banyaknya problematika atau permasalahan yang sering terjadi di kalangan masyarakat. Terutama di kalangan  masyarakat yang bergaya hidup modern. Oleh karena itu kita sebagai seorang muslim dituntut untuk mengetahui hukum dengan cara hati-hati, karena akhir-akhir ini banyak orang non muslim telah menggunakan hal tersebut (permasalahan puasa) menjadi senjata ampuh untuk menyesatkan syariat Islam dan mengotori kesucian Al-Qur’an, sehingga menjadikan umat muslim menjadi terkotak-kotak dalam berbagai golongan serta fanatisme golongan. Oleh karena itu pandangan kami, pembahasan tentang puasa serta permasalahannya sangat penting untuk di pelajari lebih dalam. Agar kita sebagai umat muslim tidak mudah terhasut oleh hasutan orang-orang yang sengaja ingin memecah belah umat Islam, serta agar kita bisa menjalankan syari’at Islam ini dengan lebih baik dan terus menambah ketaqwaan kita serta melaksanakan tugas kita sebagia abid (hamba Allah) dengan baik.

BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN

1.    Puasa menurut bahasa berarti menahan dan menurut syara’ puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, karena perintah Allah semata-mata dengan disertai niat dan syarat-syrat tertentu.

2.    Tatacara Pelaksanaan Puasa

a.    Melaksanakan rukun puasa ( Niat puasa dan meninggalakan sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari)
b.    Mengetahui syarat sah dan syarat wajibnya puasa
c.    Mengetahui hukum puasa yang akan dilakukan (wajib, sunnah, makruh atau haram)
d.   Mengetahui waktu pelaksanaan puasa. Baik puasa wajib, sunnah, makruh atau haram.

3.    Disyari’atkannya bagi umat Muslim untuk berpuasa karena dalam berpuasa terdapat banyak sekali hikmah yang dapat dipetik darinya seperti: dengan berpuasa kita bisa lebih membiasakan kesabaran, mewujudkan ketakwaan yang kokoh dalam diri, mematahkan hawa nafsu, mengosongkan hati dari perkara/perasaan yang tidak bermanfa’at untuk lebih memperbanyak berzikir mengingat Allah serta berfikir positif dll.


DAFTAR PUSTAKA


Moh. Rifa’I. 1978. Fiqih Islam. Karya Toha Putra: Semarang.

Labib Mz. 2007. Problematika Puasa, Zakat, Haji dan Umrah. Putra Jaya: Surabaya.

Ayub Hassan Muhammad. 2004. Puasa dan I’tikaf Dalam Islam. Bumi Aksara: Jakarta.

Abdulah. 1997. Risalah Ramadhan. Yayasan al-Sofwa: Jakarta.

Abdurrahman Al-Jaziri. Puasa Menurut Empat Mazhab (al-fiqh ’ala al-madzahib al-arba’ah).  Penerbit Lentera: Jakarta.

Ali Wasil El Helwany. 2008. Fasting a Great Medicine; Manfaat Luar Biasa Puasa, Medis, Psikologis & Spiritual. Pustaka Il MaN: Depok.

Tgk.H.Z.A.Syihab. Tuntunan Puasa Praktis. Bumi Aksara: Jakarta.

Sulaiman Rasyid. fiqh Islam. Sinar Baru Algensido: Bandung.

Yusuf Al- Qardhawi. Fatwa-fatwa kontemporer 2. Gema Insani: Jakarta.

Adib Bisri Mustofa. 1993. Tarjamah Shahih Muslim II. CVAssyifa: Semarang.


Catatan Kaki

[1] Labib Mz. 2007.  Problematika Puasa, Zakat, Haji dan Umrah. Putra Jaya: Surabaya. Hlm.8.
[2] Departemen Agama RI. Alqur’an Dan Terjemahnya.
[3] Moh. Rifa’i. 1978.  Fiqih Islam. Karya Toha Putra. Semarang: hlm. 332.
[4] Labib Mz. 2007. Problematika Puasa, Zakat, Haji Dan Umrah. Putra Jaya: Surabaya. hlm 12.
[5] Ayub Hassan muhammad. 2004.  Puasa dan I’tikaf Dalam Islam. Bumi Aksara: Jakarta. hlm 2-4.
[6] Ibid. hlm.27-29.
[7] Labib Mz. Op.cit. hlm.16.
[8] Abdulah. 1997. Risalah Ramadhan. Yayasan al-Sofwa: Jakarta. Hlm.25.
[9] Ayub Hassan  Muhammad. op.cit. hlm.71-72.
[10] Ibid. Hlm.74-77.
[11] Ibid. Hlm.79-80.
[12] Departemen Agama RI. Alqur’an Dan Terjemahnya.
[13] Ibid.
[14] Moh. Rifa’I. 1978. Fiqih Islam. Karya Toha Putra. Semarang: hlm.340.
[15] Z.A.Syihab. 1995. Tuntunan Puasa Praktis. Bumi Aksara. Jakarta: hlm.12-21.
[16] Sulaiman Rasyid. 1994. Fiqh Islam Sinar Baru Algensido. Bandung: hlm.242.
[17] Adib Bisri Mustofa. 1993. Tarjamah Shahih Muslim II. CVAssyifa. Semarang: hlm.394-395.
[18] Labib Mz. 2007. Problematika Puasa, Zakat, Haji dan Umrah. Putra Jaya. Surabaya: hlm.19-20
[19] Ayub Hassan Muhammad. 2004. Puasadan i’tikaf dalam islam. Bumi Aksara. Jakarta: hlm.39.
[20] Abdurrahman Al-Jaziri. 1998 . Puasa Menurut Empat Mazhab (al-fiqh ’ala al-madzahib al-arba’ah).  Penerbit. Lentera Jakarta: hlm. 38-39.
[21] Yusuf Al- Qardhawi, Fatwa-fatwa kontemporer 2, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 295
[22] Ali Wasil El Helwany. 2008. Fasting a Great Medicine; Manfaat Luar Biasa Puasa, Medis, Psikologis & Spiritual. Pustaka Il MaN. Depok: hlm.32.
[23] Abdulah .1997.  Risalah Ramadhan. Yayasan Al-Sofwa: Jakarta. Hlm.74-76.

Baca juga makalah Fiqh lainnya: 

3 comments for "PUASA DAN PERMASALAHANNYA"

  1. Sidang Isbat Digelar 12 April untuk Tentukan Awal Puasa 1442 HBaca Selengkapnya..

    ReplyDelete
  2. Great article on, history from a really good local website….
    penanusantara
    3titik
    titik2

    ReplyDelete
  3. thanks info nya min , maksih banget

    ReplyDelete