THOHAROH: WUDLU, TAYAMUM, DAN MANDI
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang suci, paling sempurna dari agama-agama lain dan termasuk satu-satunya agama yang dirodhoi oleh Allah SWT. Yang mana ajaranya dibawa oleh Rosulullah SAW.Hadist merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran, hadist menempati posisi yang sangat penting dan strategis didalam kajian-kajian keislaman.Dalam mengayomi kehidupan ini terutama kita sebagai umat muslim kita harus berpedoman kepada hadist Nabi. seperti yang telah kita ketahui dalam hadist nabi juga menjelaskan tentang berwudhu, tayamum dan juga mandi. Karena kita sebagai umat muslim hal tersebut merupakan sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan sehari hari.
Wudhu merupakan salah satu syarat untuk syahnya melakukan shalat. Hal ini telah dijelaskan dalam salah satu hadist Nabi yang artinya: “Allah tidak akan menerima shalat diantara kamu jika berhadast, sehingga lebih dahulu ia berwudhu”. Begitu juga halnya tayamum merupakan salah satu bentuk bersuci dari hadast kecil pennganti dari wudhu bilamana kita tidak mendapatkan atau sulit mendapatkan air. Dan begitu pula mandi merupakan bentuk pembersihan badan jasmani kita, dan juga salah satu dari cara menghilangkan hadast besar. Hal ini diperjelas dalam firman Allah yang artinya:
“……….. dan jangan pula kamu kerjakan shalat ketika kamu sedang “junub” kecuali lewat tempat shalat saja, sebelum kamu mandi lebih dahulu” (QS An-Nisa’: 3)
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang Wudhu, Tayamum, dan juga Mandi. Tentang hal tersebut kami akan menuangkan dalam rumusan masalah dibawah ini.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud wudhu, tayammum dan mandi?
2. Ayat apa yang menjadi landasan wudhu, tayammum dan mandi?
3. Bagaimana asbabun nuzul dari ayat tersebut?
4. Bagaimana penafsiran dari ayat tersebut?
Agama Islam merupakan agama yang suci, paling sempurna dari agama-agama lain dan termasuk satu-satunya agama yang dirodhoi oleh Allah SWT. Yang mana ajaranya dibawa oleh Rosulullah SAW.Hadist merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran, hadist menempati posisi yang sangat penting dan strategis didalam kajian-kajian keislaman.Dalam mengayomi kehidupan ini terutama kita sebagai umat muslim kita harus berpedoman kepada hadist Nabi. seperti yang telah kita ketahui dalam hadist nabi juga menjelaskan tentang berwudhu, tayamum dan juga mandi. Karena kita sebagai umat muslim hal tersebut merupakan sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan sehari hari.
Wudhu merupakan salah satu syarat untuk syahnya melakukan shalat. Hal ini telah dijelaskan dalam salah satu hadist Nabi yang artinya: “Allah tidak akan menerima shalat diantara kamu jika berhadast, sehingga lebih dahulu ia berwudhu”. Begitu juga halnya tayamum merupakan salah satu bentuk bersuci dari hadast kecil pennganti dari wudhu bilamana kita tidak mendapatkan atau sulit mendapatkan air. Dan begitu pula mandi merupakan bentuk pembersihan badan jasmani kita, dan juga salah satu dari cara menghilangkan hadast besar. Hal ini diperjelas dalam firman Allah yang artinya:
“……….. dan jangan pula kamu kerjakan shalat ketika kamu sedang “junub” kecuali lewat tempat shalat saja, sebelum kamu mandi lebih dahulu” (QS An-Nisa’: 3)
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang Wudhu, Tayamum, dan juga Mandi. Tentang hal tersebut kami akan menuangkan dalam rumusan masalah dibawah ini.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud wudhu, tayammum dan mandi?
2. Ayat apa yang menjadi landasan wudhu, tayammum dan mandi?
3. Bagaimana asbabun nuzul dari ayat tersebut?
4. Bagaimana penafsiran dari ayat tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Thoharoh
Kata
thaharah berarti suci atau bersih menurut istilah syara’ mengandung banyak
tafsir, diantaranya. Suatu perbuatan yang menjadikan seseorang boleh sholat,
misalnya wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. Bisa juga berarti sisa
air yang telah digunakan karena berfungsi sebagai pembersih.[1]
1. Hadist 1
َوَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ
رضي الله عنه قَالَ: ( خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتْ اَلصَّلَاةَ
-وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ- فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ
وَجَدَا اَلْمَاءَ فِي اَلْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا اَلصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ
وَلَمْ يُعِدِ اَلْآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ اَلسُّنَّةَ
وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلْآخَرِ: لَكَ اَلْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ )
رَوَاهُ أَبُو دَاوُد و النَّسَائِيَّ
Artinya : Daripada Abu Said al-Khudri (r.a), beliau berkata: “ Dua orang lelaki keluar (dari kota Madina) untuk mengadakan suatu perjalanan. Maka tibalah waktu sholat, sedangkan keduanya tidak membawa air, lalu mereka bertayammum dengan debu yang suci, kemudian mengerjakan solat. Setelah itu mereka menemukan air dan waktu sholat itu belum lagi berakhir. Maka salah seorang diantaranya diulangi solatnya dengan berwudu, sedangkan yang seorang lagi tidak mengulangi (sholatnya). Kemudian mereka datang menghadap Rasulullah saw, lalu menceritakan apa yang mereka lakukan kepada baginda. Mendengar itu, Nabi saw bersabda kepada orang yang tidak mengulangi sholatnya: “ Engkau telah mengerjakan Sunnah dan sholatmu itu sudah memadai.” Sedangkan kepada yang satu lagi baginda bersabda: “Engkau memperoleh ganjaran pahala sebanyak dua kali. ” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasa’i)[2]
2. Kosa Kata
“ فَحَضَرَتْ اَلصَّلَاةَ ”, maka
tibalah waktu sholat
صَعِيدًا طَيِّبًا”, debu yang
suci.
َلَمْ يُعِدِ اَلْآخَرُ”, sedangkan
yang seorang lagi tidak mengulangi wudlunya dan tidak pula bersholat.
“وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ و النَّسَ”, solatmu
sudah memadai dan tidak perlu lagi mengqadha’nya lagi. Pengertian “memadai”
merupakan ungkapan yang menunjukkan bahawa perbuatan itu telah menggugurkan
kewajiban mengulangi ibadah.
لَكَ اَلْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ”, bagimu dua
pahala, yaitu pahala sholat dengan bersuci memakai tayammum dan pahala sholat
dengan bersuci menukai wudhu.
3. Makna global hadist
Cabang hukum yang memiliki banyak rincian serta beraneka
ragam jenis dan peristiwanya tidak mungkin disebutkan dengan secara
terperinci jelas oleh al- Qur’an dan Sunnah. Dalam menganalisis perkara seperti
itu diperlukan ijtihad dengan cara menyamakan suatu permasalahan yang mempunyai
kemiripan dengan yang lain dan menyesuaikan cabang kepada pokoknya. Oleh itu,
setiap sahabat melakukan ijtihad pada zaman Nabi saw dan baginda mengakui
perbuatan mereka dan menyetujuinya. Antara contohnya ialah kisah dua orang
lekaki yang sedang melakukan suatu perjalanan lalu keduanya bertayammum dalam
perjalanannya karena persediaan air mereka tidak memadai untuk digunakan
berwudlu. Kemudian salah seorang di antara keduanya mengulangi solatnya,
sedangkan yang seorang lagi tidak, tetapi Nabi saw menyetujui perbuatan
kedua-dua orang sahabat itu. Baginda bersabda kepada orang yang mengulangi
solatnya: “Engkau mendapat ganjaran pahala dua kali ganda” yakni pahala bersuci
dengan debu dan bersuci dengan air. Dan kepada yang seorang lagi, yaitu orang
yang tidak mengulangi sholatnya, baginda bersabda: “Sholatmu sudah memadai.”
Dikatakan demikian karena dia telah mengerjakan sesuai dengan apa yang
diperintahkan kepadanya, ia itu bertayammum.[3]
B. Ayat Thoharoh
Setiap
pemerhati nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, akan nampak jelas
baginya betapa perhatian Islam terhadap kesucian dan kebersihan, bagaimana
tidak, Allah SWT sangat menyukai orang-orang yang bersih, dalam surah
al-Baqarah (222), Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri”. Sedangkan
nabi Muhammad SAW menjadikan kesucian separuh dari iman, sebagaimana dalam
hadits diriwayatkan imam Muslim, nabi bersabda: “Kesucian itu separuh dari
iman”.
Allah
berfirman dalam (Surah al-Maaidah: 6):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ (٦)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bangun hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan
jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau habis buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan
air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.”
1. Tafsir Ayat Wudhu:
Allah berfirman: (يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا) “Hai
orang-orang yang beriman”, yaitu memanggil orang-orang yang beriman saja,
karena hanya merekalah yang diharapkan bisa konsukwen melaksanakan hukum-hukum
Allah, terutama pada hukum thaharah (bersuci) dengan tiga kategorinya: Wudhu,
mandi junub dan tayammum, seperti berikut:
a. Anggota-anggota Wudhu:
Allah berfirman: (الصلاة فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ) “hendak mengerjakan shalat, maka
basulah mukamu”, Allah SWT menyebutkan empat anggota wudhu’: Wajib membasuh
muka, demikia juga membasuh kedua tangan, wajib menyapu kepala menurut
kesepakatan, dan ulama berbeda dalam kasus kedua kaki, penjelasannya menyusul.
Allah SWT tidak menyebutkan selain yang empat ini menunjukkan bahwa selain dari
pada itu adalah bagian dari adab dan sunnah-sunnah.[4]
Adapun keempat anggota wudhu, sebagai berikut:
1) Membasuh Muka (Wajah): فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
Muka (wajah) menurut bahasa dari
kata “al-muawajahah” (bertatap muka), yaitu bagian dari badan yang
mempunyai anggota-anggota tertentu, memiliki panjang dan lebar. Kemudian khusus
untuk muka (wajah) mempunyai hukum-hukum, sebagai berikut:
a) Ukuran panjang: Dari permukaan dahi
sampai kepada ujung dagu, dan lebarnya dari telinga sampai ke telingan yang
lain, ini bagi yang tidak memiliki berjenggot (klimis).
b) Bagi yang berjenggot: Jika dagu
ditumbuhi oleh bulu-bulu, maka tidak terlepas dari hukum tipis atau lebat,
kalau dagu ditumbuhi rambut-rambut tipis, maka harus menyampaikan air kepada
kulit dagu.
c) Jika jenggot tebal, maka hukumnya
menjadi hukum rambut kepala dan harus diusap-usap jenggot. Kata Ibn Abdelhakam:
Mengusap-usap jenggot wajib pada wudhu’ dan mandi. Kata Abu Umar: Diriwayatkan
dari nabi SAW bahwasanya Beliau mengusap-usap jenggotnya dalam wudhu dari
bagian muka semuanya secara lembut.
d) Niat: Para jumhur ulama mengharuskan
niat pada wudhu’, berdasarkan sabda rasulullah SAW: (إنما الأعمال
بتانيات) “sesungguhnya segala perbuatan
harus disertai dengan niat”. Kata Bukhari: Termasuk di dalamnya iman, wudhu’,
shalat, zakat, haji, puasa, dan hukum-hukum yang lain.
2) Membasuh Dua Tangan sampai Kedua
Siku:
Firman Allah: (وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ) “dan tanganmu
sampai dengan siku”, para ulama’ berbeda dalam membatasi “sampai dengan
siku”, maka ada golongan mengatakan: Benar sampai dengan siku, karena setiap
kalimat setelah (إلى) apabila sejenis dari kalimat sebelumnya maka termasuk
kedalamnya.
3) Menyapu Kepala:
Firman Allah: (وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ) “dan sapulah kepalamu”,
kalimat (المسح) “menyapu” dipergunakan dalam bahasa Arab pada banyak
pengertian, bisa berarti (الجماع) “bercinta”, dikatakan: (مسح الرجل
المرأة إذا جامعها) “laki-laki
meremas-remas perempuan apabila bercinta dengannya”. Dan (المسح) “memotong”,
seperti (مسح الشيئ
بالسيف وقطعه به)“dia menyentuh sesuatu dengan pedang
dan memotongnya dengannya”, dan lain sebagainya...
Dan yang dimaksud (المسح) “menyapu” di sini adalah mengedarkan tangan atas bagian
yang disapu secara khusus, dan apabila mempergunakan alat maka berarti
memindahkan alat ke tangan dan mengedarkannya kepada bagian-bagian yang disapu,
yaitu sesuai yang dimaksudkan firman Allah surah al-Maaidah yang sedang dikaji
ini.
Adapun (الرأس) “kepala”, adalah sebutan yang telah diketahui manusia
secara pasti dan di antaranya adalah muka (wajah), maka ketika Allah SWT
menyebutnya sebagai salah satu anggota wudhu dan telah menetapkan muka (wajah)
untuk disapu, maka tinggallah sebagian kepala yang harus disapu, seandainya
Allah tidak menyebut muka disapu maka wajiblah menyapu semua kepala, termasuk
padanya rambut-rambut kepala, kedua mata, hidung dan mulut.
4) Menyapu Kedua Kaki sampai Kedua mata
Kaki:
Firman Allah: (وَأَرْجُلَكُمْ) “wa Arjulakum” (dan kakimu), Nafi’, Ibn ‘Amer dan
al-Kisai membaca: (وَأَرْجُلَكُمْ) “wa Arjulakum” dengan “nashab” (baris
atas), dan riwayat al-Walid bin Muslim dari Nafi’ membaca: (وَأَرْجُلَكُمْ)“wa
Arjulukum” dengan “rafa” (baris dhammah) dan ini juga bacaan al-Hassan dan
al-A’masy Sulaiman. Sedangkan Ibn Katsir, Abu ‘Amr dan Hamzah membacanya: (وَأَرْجُلَكُمْ) “wa
Arjulikum” dengan baris kasrah/ bawah.
Dari perbedaan-perbedaan bacaan di atas, berbeda pula para
sahabat dan tabi’in mengeluarkan pendapatnya, sebagai berikut.
a) Bagi yang membaca
dengan “nashab” (baris atas), menjadikannya umum (اغسلوا) dan
mendasari pendapatnya bahwa yang fardu dalam kasus kedua kaki adalah membasuh
bukan menyapu, dan inilah pendapat jumhur dan mayoritas ulama, yaitu sifat
wudhu yang telah diperagakan oleh nabi SAW dengan perkataan dan perbuatannya,
Beliau pernah melihat orang-orang berwudhu meninggalkan tumitnya: Nabi mencela
dan memanggil dengan suara yang tinggi bersabda: (ويل للأعقاب من
النار أسبغوا الوضوء) “Binasalah
orang yang berwudhu meninggalkan tumit itu dari neraka, maka basulah pada
wudhu”. Kemudian Allah SWT memberi batas kepada kedua mata kaki sebagaimana
juga berfirman pada kedua tangan sampai kepada kedua siku menunjukkan atas
wajib membasuh keduanya,wallahua’lam.
b) Bagi yang membaca dengan bari bawah
menjadikan huruf (الباء) sebagai ‘amil, Ibn al-Arabi mengatakan: Para ulama sepakat
bahwa yang wajib adalah membasuh keduanya, saya tidak mengetahui ada yang
menolak pendapat ini kecuali hanya at-Thabari dari ahli fiqhi Islam, dan ada
juga selainnya dari golongan ar-Rafidhah, dan at-thabari sangat getol membaca
ayat ini dengan baris di bawah.
2. Tafsir Ayat Junub (mandi)
Allah berfirman: (وَإِنْ كُنْتُمْ
جُنُبًا) “dan jika kamu junub”: Para
jumhur dari umat telah sepakat bahwa junub itu adalah tidak suci sebab keluar
air (mani) atau bertemu kedua khitan. Dan diriwayatkan dari sebagian
sahabat bahwa tidak ada mandi kecuali sebab keluar air, dengan sabda rasulullah
SAW: “Bahwasanya air itu hanya sebab air” (HR: Muslim), sedangkan hadits
Bukhari dari Ubay bin Ka’ab bahwa sanya ia bertanya: “Ya rasulullah, apabila
seseorang bercinta dengan isterinya tapi tidak keluar? Bersabda: Harus mandi
karena telah menyentuhkan perempuan dari padanya kemudian berwudhu lalu
shalat”.
Kata al-Qurthubi: Seperti inilah kesepakatan para ulama dari
sahabat dan tabi’in serta ahli fiqhi dari berbagai penjuru, bahwa mandi junub
wajib dengan bertemunya dua khitan. Dan memang pernah ada perbedaan
pendapat di antara sahabat kemudian mereka kembali kepada riwayat ‘Aisyah dari
nabi SAW bersabda: “Apabila duduk di antara cabang-cabangnya yang empat dan
menyentuh dua khitan dari padanya maka wajib mandi”. (HR: Muslim). Dan hadits dari
Bukhari: “Apabila duduk di antara cabang-cabangnya yang empat kemudian
mengusahakannya maka wajib mandi”. (Muslim menambahka: walaupun tidak
keluar)
Firman Allah: (فَاطَّهَّرُوا) “maka mandilah”: Memerintahkan mandi dengan air, oleh
karena itu Umar dan Ibn Mas’ud menyatakan bahwa junub tidak dibolehkan dengan
tayammum, akan tetapi menunda shalat sehingga mendapatkan air. Dan para jumhur
dari khalayak menepis pernyataan ini: Bahwa kasus ini hanya bagi yang menemukan
air, dan disebutkan juga hukum junub pada kasus tidak ada air dengan firman
Allah: (أَوْ
لامَسْتُمُ النِّسَاءَ) “atau
menyentuhperempuan”, dan menyentuh di sini adalah bercinta. Dan benar, Umar dan
Ibn Mas’ud keduanya telah kembali kepada pendapat semua orang bahwa junub boleh
tayammum...
3. Tafsir Tayammum
Allah
berfirman dalam Surah an-Nisaa’: 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا
جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ
عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”
1. tafsir al- mufrodat
(لا تَقْرَبُوا) “janganlah
kamu shalat”: Yaitu jangan mendekati sebagai kiasan dari masuk ke dalamnya,
atau janganlah kamu memasuki dari mesjid-mesjidnya.
(جُنُبًا) “dalam
keadaan junub”: Dari mengalami junub dengan bercinta (ML) atau keluar mani
(عَابِرِي سَبِيلٍ) “sekedar
berlalu”: menyeberangi jalan yaitu bepergian (musafir)
(الْغَائِطِ) “tempat
buang air”: Tempat yang rendah dari permukaan bumi seperti wadi, yang dimaksud
tempat dipersiapkan untuk membuang hajat (buang air), karena orang-orang
dipedalaman terpencil dan sebagian warga perkampungan membuang hajat mereka
pada tempat-tempat yangg rendah agar tertutup dari penglihatan orang.
(لاَمَسْتُمُ النِّسَاء) “menyentuh
perempuan”: Kiasan dari bercinta (ML)
(فَتَيَمَّمُواْ) “maka
tayammumlah”: maka niatkanlah
(صَعِيدًا) “tanah”:
yang bersih tanah yang suci. Dan (صَعِيدًا): Permukaan bumi.
(عَفُوّاً) “Maha
Pema'af”: Yang Mempunyai Sifat Pemaaf dan Dia-lah yang menghapuskan segala
kesalahan seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
(غَفُوراً) “Maha
Pengampun”: Yang Mempunyai Pengampunan, sedangkan (المغفرة): Menutupi dosa-dosa dengan tanpa mengadakan perhitungan
atasnya.
2. Sebab-sebab Turun Ayat
Sebab Turun ayat: (لا تَقْرَبُوا
الصَّلاةَ) “janganlah kamu shalat”: Riwayat
dari Ali ra berkata: Adalah Abdurrahman bin Auf pernah mengundang kami makan,
lalu memberikan kami hidangan dan menuangkan khamar, maka kami pun berpesta
khamar, dan masuk waktu shalat, mereka mendorong aku menjadi imam lalu aku
membaca: (قل: يا أيها
الكافرون، لا أعبد ما تعبدون، ونحن نعبد ما تعبدون) “Katakanlah:
hai orang-orang kafir, saya tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kami
menyembah apa yang kamu sembah”. Maka Allah menurunkan: (يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكارى حَتَّى تَعْلَمُوا ما تَقُولُونَ) “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”
Sedangkan Ibn Jarir meriwayatkan dari Ali bahwa yang imam
adalah Abdurrahman, adapun shalat yang dikerjakan adalah Magrib, waktu itu
sebelum diharamkan khamar.
Sebab Turun ayat: (فَتَيَمَّمُوا) “maka tayammumlah”: Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Malik dari Aisyah ra berkata: Kami telah keluar bersama nabi dalam sebuah
perjalanan, hingga kami sampai ke “al-Baid” atau markaz tentara lalu
saya merasa telah kehilangan kalung, maka rasulullah SAW pergi mencarinya dan
dibantu pula orang-orang yang lain, mereka berada ditempat yang tidak ada air
dan mereka pun tidak ada yang bawa air... Maka Allah menurunkan ayat tayammum
lalu mereka bertayammum. Maka Asid bin Hadhier, salah seorang komandan pasukan,
menyelah: Wah, ini adalah awal berkah dari kamu hai putri Abu Bakar.
Dan dalam riwayat: Semoga Allah memuliakanmu hai Aisyah,
tidak terjadi padamu sesuatu yang kamu tidak inginkan kecuali Allah telah
menjadikannya kemudahan bagi umat Islam. Selanjutnya Aisyah menambahkan: Lalu
nabi mengirimkan tunggangan yang tadinya aku tumpangi, maka kami menemukan
kalung itu di balik pelananya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas pemakalah akan
menyimpulkan sebagai berikut :
Wudhu menurut bahasa artinya baik dan bersih. Menurut
istilah syara’ wudhu adalah membasuh muka, dan kedua tangan sampai siku,
mengusap kepala dan membasuh kaki didahului dengan niat dan dilakukan dengan
tertib.
Tayamum menurut bahasa artinya menuju atau menyengaja. Sedangkan tayamum
menurut syara’ yaitu mempergunakan tanah yang bersih guna menyapu muka dan
tangan untuk mengangkat hadast menurut cara yang ditentukan oleh syara’
Mandi menurut bahasa adalah membasuh badan. Sedangkan
mandi meurut istilah syara’ adalah meratakan air pada seluruh anggota badan
dari ujung rambut hingga ujung kaki disertai dengan niat.
B. Daftar Pustaka
Syekh
Syamsuddin Abu Abdillah. 2010, Terjemah
Fathul Qarib. Surabaya: Mutiara Ilmu cet pertama.
Ibnu
Hajar al-Asqalany, 2008. Bulughul Maram,
Tasikmalaya: Pustaka Al-Hidayah.
Alawi
Abbas Al-Maliki, Hasan Sulaiman Al-Nuri, 2010., Ibanah Al-Ahkam, Kuala Lumpur: Al-Hidayah,
Sayyid Sabiq, 1993, Fiqih Sunnah 1, Bandung: PT Al-Ma’arif.
[1]
Syekh
Syamsuddin Abu Abdillah. Terjemah
Fathul Qarib. (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), cet pertama, hal. 13.
[2] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul
Maram, Tasikmalaya: Pustaka Al-Hidayah, 2008, hal.56
[3]
Alawi
Abbas Al-Maliki, Hasan Sulaiman Al-Nuri, Ibanah
Al-Ahkam, Kuala Lumpur: Al-Hidayah, 2010, hal. 175
[4]
Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah 1,
Bandung: PT Al-Ma’arif, 1993, hal.117
Post a Comment for "THOHAROH: WUDLU, TAYAMUM, DAN MANDI"