Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

THOHAROH: WUDLU, TAYAMUM, DAN MANDI

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Agama Islam merupakan agama yang suci, paling sempurna dari agama-agama lain  dan termasuk satu-satunya agama yang dirodhoi oleh Allah SWT. Yang mana ajaranya dibawa oleh Rosulullah SAW.Hadist merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran, hadist menempati posisi yang sangat penting dan strategis didalam kajian-kajian keislaman.Dalam mengayomi kehidupan ini terutama kita sebagai umat muslim kita harus berpedoman kepada hadist Nabi. seperti yang telah kita ketahui dalam hadist nabi juga menjelaskan tentang berwudhu, tayamum dan juga mandi. Karena kita sebagai umat muslim hal tersebut merupakan sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan sehari hari.

Wudhu merupakan salah satu syarat untuk syahnya melakukan shalat. Hal ini telah dijelaskan dalam salah satu hadist Nabi yang artinya: “Allah tidak akan menerima shalat diantara kamu jika berhadast, sehingga lebih dahulu ia berwudhu”. Begitu juga halnya tayamum merupakan salah satu bentuk bersuci dari hadast kecil pennganti dari wudhu bilamana kita tidak mendapatkan atau sulit mendapatkan air. Dan begitu pula mandi merupakan bentuk pembersihan badan jasmani kita, dan juga salah satu dari cara menghilangkan hadast besar. Hal ini diperjelas dalam firman Allah yang artinya:

“……….. dan jangan pula kamu kerjakan shalat ketika kamu sedang “junub” kecuali lewat tempat shalat saja, sebelum kamu mandi lebih dahulu” (QS An-Nisa’: 3)

Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang Wudhu, Tayamum, dan juga Mandi. Tentang hal tersebut kami akan menuangkan dalam rumusan masalah dibawah ini.

B.  Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud wudhu, tayammum dan mandi?
2.      Ayat apa yang menjadi landasan wudhu, tayammum dan mandi?
3.      Bagaimana asbabun nuzul dari ayat tersebut?
4.      Bagaimana penafsiran dari ayat tersebut?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hadits Thoharoh
Kata thaharah berarti suci atau bersih menurut istilah syara’ mengandung banyak tafsir, diantaranya. Suatu perbuatan yang menjadikan seseorang boleh sholat, misalnya wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. Bisa juga berarti sisa air yang telah digunakan karena berfungsi sebagai pembersih.[1]

1.    Hadist 1

َوَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: ( خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتْ اَلصَّلَاةَ -وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ- فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا اَلْمَاءَ فِي اَلْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا اَلصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ اَلْآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ اَلسُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلْآخَرِ: لَكَ اَلْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُد و النَّسَائِيَّ

Artinya : Daripada Abu Said al-Khudri (r.a), beliau berkata: “ Dua orang lelaki keluar (dari kota Madina) untuk mengadakan suatu perjalanan. Maka tibalah waktu sholat, sedangkan keduanya tidak membawa air, lalu mereka bertayammum dengan debu yang suci, kemudian mengerjakan solat. Setelah itu mereka menemukan air dan waktu sholat itu belum lagi berakhir. Maka salah seorang diantaranya diulangi solatnya dengan berwudu, sedangkan yang seorang lagi tidak mengulangi (sholatnya). Kemudian mereka datang menghadap Rasulullah saw, lalu menceritakan apa yang mereka lakukan kepada baginda. Mendengar itu, Nabi saw bersabda kepada orang yang tidak mengulangi sholatnya: “ Engkau telah mengerjakan Sunnah dan sholatmu itu sudah memadai.” Sedangkan kepada yang satu lagi baginda bersabda: “Engkau memperoleh ganjaran pahala sebanyak dua kali. ” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasa’i)[2]

2.    Kosa Kata
 فَحَضَرَتْ اَلصَّلَاةَ ”, maka tibalah waktu sholat
صَعِيدًا طَيِّبًا”, debu yang suci.
َلَمْ يُعِدِ اَلْآخَرُ”, sedangkan yang seorang lagi tidak mengulangi wudlunya dan tidak pula bersholat.
 “وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ و النَّسَ”, solatmu sudah memadai dan tidak perlu lagi mengqadha’nya lagi. Pengertian “memadai” merupakan ungkapan yang menunjukkan bahawa perbuatan itu telah menggugurkan kewajiban mengulangi ibadah.
لَكَ اَلْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ”, bagimu dua pahala, yaitu pahala sholat dengan bersuci memakai tayammum dan pahala sholat dengan bersuci menukai wudhu.

3.    Makna global hadist
Cabang hukum yang memiliki banyak rincian serta beraneka ragam jenis dan peristiwanya  tidak mungkin disebutkan dengan secara terperinci jelas oleh al- Qur’an dan Sunnah. Dalam menganalisis perkara seperti itu diperlukan ijtihad dengan cara menyamakan suatu permasalahan yang mempunyai kemiripan dengan yang lain dan menyesuaikan cabang kepada pokoknya. Oleh itu, setiap sahabat melakukan ijtihad pada zaman Nabi saw dan baginda mengakui perbuatan mereka dan menyetujuinya. Antara contohnya ialah kisah dua orang lekaki yang sedang melakukan suatu perjalanan lalu keduanya bertayammum dalam perjalanannya karena persediaan air mereka tidak memadai untuk digunakan berwudlu. Kemudian salah seorang di antara keduanya mengulangi solatnya, sedangkan yang seorang lagi tidak, tetapi Nabi saw menyetujui perbuatan kedua-dua orang sahabat itu. Baginda bersabda kepada orang yang mengulangi solatnya: “Engkau mendapat ganjaran pahala dua kali ganda” yakni pahala bersuci dengan debu dan bersuci dengan air. Dan kepada yang seorang lagi, yaitu orang yang tidak mengulangi sholatnya, baginda bersabda: “Sholatmu sudah memadai.” Dikatakan demikian karena dia telah mengerjakan sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya, ia itu bertayammum.[3]  

B.  Ayat Thoharoh
Setiap pemerhati nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, akan nampak jelas baginya betapa perhatian Islam terhadap kesucian dan kebersihan, bagaimana tidak, Allah SWT sangat menyukai orang-orang yang bersih, dalam surah al-Baqarah (222), Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri”. Sedangkan nabi Muhammad SAW menjadikan kesucian separuh dari iman, sebagaimana dalam hadits diriwayatkan imam Muslim, nabi bersabda: “Kesucian itu separuh dari iman”.

Allah berfirman dalam (Surah al-Maaidah: 6):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٦)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau habis buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

1.    Tafsir Ayat Wudhu:
Allah berfirman: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) “Hai orang-orang yang beriman”, yaitu memanggil orang-orang yang beriman saja, karena hanya merekalah yang diharapkan bisa konsukwen melaksanakan hukum-hukum Allah, terutama pada hukum thaharah (bersuci) dengan tiga kategorinya: Wudhu, mandi junub dan tayammum, seperti berikut:

a.    Anggota-anggota Wudhu:
Allah berfirman: (الصلاة فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ) “hendak mengerjakan shalat, maka basulah mukamu”, Allah SWT menyebutkan empat anggota wudhu’: Wajib membasuh muka, demikia juga membasuh kedua tangan, wajib menyapu kepala menurut kesepakatan, dan ulama berbeda dalam kasus kedua kaki, penjelasannya menyusul. Allah SWT tidak menyebutkan selain yang empat ini menunjukkan bahwa selain dari pada itu adalah bagian dari adab dan sunnah-sunnah.[4]
Adapun keempat anggota wudhu, sebagai berikut:

1)      Membasuh Muka (Wajah): فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
Muka (wajah) menurut bahasa dari kata “al-muawajahah” (bertatap muka), yaitu bagian dari badan yang mempunyai anggota-anggota tertentu, memiliki panjang dan lebar. Kemudian khusus untuk muka (wajah) mempunyai hukum-hukum, sebagai berikut:
a)    Ukuran panjang: Dari permukaan dahi sampai kepada ujung dagu, dan lebarnya dari telinga sampai ke telingan yang lain, ini bagi yang tidak memiliki berjenggot (klimis).
b)   Bagi yang berjenggot: Jika dagu ditumbuhi oleh bulu-bulu, maka tidak terlepas dari hukum tipis atau lebat, kalau dagu ditumbuhi rambut-rambut tipis, maka harus menyampaikan air kepada kulit dagu.
c)    Jika jenggot tebal, maka hukumnya menjadi hukum rambut kepala dan harus diusap-usap jenggot. Kata Ibn Abdelhakam: Mengusap-usap jenggot wajib pada wudhu’ dan mandi. Kata Abu Umar: Diriwayatkan dari nabi SAW bahwasanya Beliau mengusap-usap jenggotnya dalam wudhu dari bagian muka semuanya secara lembut.
d)   Niat: Para jumhur ulama mengharuskan niat pada wudhu’, berdasarkan sabda rasulullah SAW: (إنما الأعمال بتانيات) “sesungguhnya segala perbuatan harus disertai dengan niat”. Kata Bukhari: Termasuk di dalamnya iman, wudhu’, shalat, zakat, haji, puasa, dan hukum-hukum yang lain.

2)      Membasuh Dua Tangan sampai Kedua Siku:
Firman Allah: (وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ) “dan tanganmu sampai dengan siku”, para ulama’ berbeda dalam membatasi “sampai dengan siku”, maka ada golongan mengatakan: Benar sampai dengan siku, karena setiap kalimat setelah (إلى) apabila sejenis dari kalimat sebelumnya maka termasuk kedalamnya.

3)      Menyapu Kepala:
Firman Allah: (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ) “dan sapulah kepalamu”, kalimat (المسح) “menyapu” dipergunakan dalam bahasa Arab pada banyak pengertian, bisa berarti (الجماع) “bercinta”, dikatakan: (مسح الرجل المرأة إذا جامعها) “laki-laki meremas-remas perempuan apabila bercinta dengannya”. Dan (المسح) “memotong”, seperti (مسح الشيئ بالسيف وقطعه به)“dia menyentuh sesuatu dengan pedang dan memotongnya dengannya”, dan lain sebagainya...

Dan yang dimaksud (المسح) “menyapu” di sini adalah mengedarkan tangan atas bagian yang disapu secara khusus, dan apabila mempergunakan alat maka berarti memindahkan alat ke tangan dan mengedarkannya kepada bagian-bagian yang disapu, yaitu sesuai yang dimaksudkan firman Allah surah al-Maaidah yang sedang dikaji ini.

Adapun (الرأس) “kepala”, adalah sebutan yang telah diketahui manusia secara pasti dan di antaranya adalah muka (wajah), maka ketika Allah SWT menyebutnya sebagai salah satu anggota wudhu dan telah menetapkan muka (wajah) untuk disapu, maka tinggallah sebagian kepala yang harus disapu, seandainya Allah tidak menyebut muka disapu maka wajiblah menyapu semua kepala, termasuk padanya rambut-rambut kepala, kedua mata, hidung dan mulut. 

4)      Menyapu Kedua Kaki sampai Kedua mata Kaki:
Firman Allah: (وَأَرْجُلَكُمْ) “wa Arjulakum” (dan kakimu), Nafi’, Ibn ‘Amer dan al-Kisai membaca: (وَأَرْجُلَكُمْ) “wa Arjulakum” dengan “nashab” (baris atas), dan riwayat al-Walid bin Muslim dari Nafi’ membaca: (وَأَرْجُلَكُمْ)“wa Arjulukum” dengan “rafa” (baris dhammah) dan ini juga bacaan al-Hassan dan al-A’masy Sulaiman. Sedangkan Ibn Katsir, Abu ‘Amr dan Hamzah membacanya: (وَأَرْجُلَكُمْ) “wa Arjulikum” dengan baris kasrah/ bawah.

Dari perbedaan-perbedaan bacaan di atas, berbeda pula para sahabat dan tabi’in mengeluarkan pendapatnya, sebagai berikut.
a)    Bagi yang membaca dengan “nashab” (baris atas), menjadikannya umum (اغسلوا) dan mendasari pendapatnya bahwa yang fardu dalam kasus kedua kaki adalah membasuh bukan menyapu, dan inilah pendapat jumhur dan mayoritas ulama, yaitu sifat wudhu yang telah diperagakan oleh nabi SAW dengan perkataan dan perbuatannya, Beliau pernah melihat orang-orang berwudhu meninggalkan tumitnya: Nabi mencela dan memanggil dengan suara yang tinggi bersabda: (ويل للأعقاب من النار أسبغوا الوضوء) “Binasalah orang yang berwudhu meninggalkan tumit itu dari neraka, maka basulah pada wudhu”. Kemudian Allah SWT memberi batas kepada kedua mata kaki sebagaimana juga berfirman pada kedua tangan sampai kepada kedua siku menunjukkan atas wajib membasuh keduanya,wallahua’lam. 

b)   Bagi yang membaca dengan bari bawah menjadikan huruf (الباء) sebagai ‘amil, Ibn al-Arabi mengatakan: Para ulama sepakat bahwa yang wajib adalah membasuh keduanya, saya tidak mengetahui ada yang menolak pendapat ini kecuali hanya at-Thabari dari ahli fiqhi Islam, dan ada juga selainnya dari golongan ar-Rafidhah, dan at-thabari sangat getol membaca ayat ini dengan baris di bawah.

2.    Tafsir Ayat Junub (mandi)
Allah berfirman: (وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا) “dan jika kamu junub”: Para jumhur dari umat telah sepakat bahwa junub itu adalah tidak suci sebab keluar air (mani) atau bertemu kedua khitan. Dan diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa tidak ada mandi kecuali sebab keluar air, dengan sabda rasulullah SAW: “Bahwasanya air itu hanya sebab air” (HR: Muslim), sedangkan hadits Bukhari dari Ubay bin Ka’ab bahwa sanya ia bertanya: “Ya rasulullah, apabila seseorang bercinta dengan isterinya tapi tidak keluar? Bersabda: Harus mandi karena telah menyentuhkan perempuan dari padanya kemudian berwudhu lalu shalat”.

Kata al-Qurthubi: Seperti inilah kesepakatan para ulama dari sahabat dan tabi’in serta ahli fiqhi dari berbagai penjuru, bahwa mandi junub wajib dengan bertemunya dua khitan. Dan memang pernah ada perbedaan pendapat di antara sahabat kemudian mereka kembali kepada riwayat ‘Aisyah dari nabi SAW bersabda: “Apabila duduk di antara cabang-cabangnya yang empat dan menyentuh dua khitan dari padanya maka wajib mandi”. (HR: Muslim). Dan hadits dari Bukhari: “Apabila duduk di antara cabang-cabangnya yang empat kemudian mengusahakannya maka wajib mandi”. (Muslim menambahka: walaupun tidak keluar) 

Firman Allah: (فَاطَّهَّرُوا) “maka mandilah”: Memerintahkan mandi dengan air, oleh karena itu Umar dan Ibn Mas’ud menyatakan bahwa junub tidak dibolehkan dengan tayammum, akan tetapi menunda shalat sehingga mendapatkan air. Dan para jumhur dari khalayak menepis pernyataan ini: Bahwa kasus ini hanya bagi yang menemukan air, dan disebutkan juga hukum junub pada kasus tidak ada air dengan firman Allah: (أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ) “atau menyentuhperempuan”, dan menyentuh di sini adalah bercinta. Dan benar, Umar dan Ibn Mas’ud keduanya telah kembali kepada pendapat semua orang bahwa junub boleh tayammum...

3.    Tafsir Tayammum
Allah berfirman dalam Surah an-Nisaa’: 43:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”


1.  tafsir al- mufrodat
(لا تَقْرَبُوا) “janganlah kamu shalat”: Yaitu jangan mendekati sebagai kiasan dari masuk ke dalamnya, atau janganlah kamu memasuki dari mesjid-mesjidnya.
(جُنُبًا) “dalam keadaan junub”: Dari mengalami junub dengan bercinta (ML) atau keluar mani
(عَابِرِي سَبِيلٍ) “sekedar berlalu”: menyeberangi jalan yaitu bepergian (musafir)
(الْغَائِطِ) “tempat buang air”: Tempat yang rendah dari permukaan bumi seperti wadi, yang dimaksud tempat dipersiapkan untuk membuang hajat (buang air), karena orang-orang dipedalaman terpencil dan sebagian warga perkampungan membuang hajat mereka pada tempat-tempat yangg rendah agar tertutup dari penglihatan orang.
(لاَمَسْتُمُ النِّسَاء) “menyentuh perempuan”: Kiasan dari bercinta (ML)
(فَتَيَمَّمُواْ) “maka tayammumlah”: maka niatkanlah
(صَعِيدًا) “tanah”: yang bersih tanah yang suci. Dan (صَعِيدًا): Permukaan bumi.
(عَفُوّاً) “Maha Pema'af”: Yang Mempunyai Sifat Pemaaf dan Dia-lah yang menghapuskan segala kesalahan seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
(غَفُوراً) “Maha Pengampun”: Yang Mempunyai Pengampunan, sedangkan (المغفرة): Menutupi dosa-dosa dengan tanpa mengadakan perhitungan atasnya. 

2.    Sebab-sebab Turun Ayat
Sebab Turun ayat: (لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ) “janganlah kamu shalat”: Riwayat dari Ali ra berkata: Adalah Abdurrahman bin Auf pernah mengundang kami makan, lalu memberikan kami hidangan dan menuangkan khamar, maka kami pun berpesta khamar, dan masuk waktu shalat, mereka mendorong aku menjadi imam lalu aku membaca: (قل: يا أيها الكافرون، لا أعبد ما تعبدون، ونحن نعبد ما تعبدون) “Katakanlah: hai orang-orang kafir, saya tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kami menyembah apa yang kamu sembah”. Maka Allah menurunkan: (يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكارى حَتَّى تَعْلَمُوا ما تَقُولُونَ) “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” 

Sedangkan Ibn Jarir meriwayatkan dari Ali bahwa yang imam adalah Abdurrahman, adapun shalat yang dikerjakan adalah Magrib, waktu itu sebelum diharamkan khamar.

Sebab Turun ayat: (فَتَيَمَّمُوا) “maka tayammumlah”: Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Malik dari Aisyah ra berkata: Kami telah keluar bersama nabi dalam sebuah perjalanan, hingga kami sampai ke “al-Baid” atau markaz tentara lalu saya merasa telah kehilangan kalung, maka rasulullah SAW pergi mencarinya dan dibantu pula orang-orang yang lain, mereka berada ditempat yang tidak ada air dan mereka pun tidak ada yang bawa air... Maka Allah menurunkan ayat tayammum lalu mereka bertayammum. Maka Asid bin Hadhier, salah seorang komandan pasukan, menyelah: Wah, ini adalah awal berkah dari kamu hai putri Abu Bakar.

Dan dalam riwayat: Semoga Allah memuliakanmu hai Aisyah, tidak terjadi padamu sesuatu yang kamu tidak inginkan kecuali Allah telah menjadikannya kemudahan bagi umat Islam. Selanjutnya Aisyah menambahkan: Lalu nabi mengirimkan tunggangan yang tadinya aku tumpangi, maka kami menemukan kalung itu di balik pelananya


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pemaparan diatas pemakalah akan menyimpulkan sebagai berikut :
Wudhu menurut bahasa artinya baik dan bersih. Menurut istilah syara’ wudhu adalah membasuh muka, dan kedua tangan sampai siku, mengusap kepala dan membasuh kaki didahului dengan niat dan dilakukan dengan tertib.
Tayamum menurut bahasa artinya menuju atau menyengaja. Sedangkan tayamum  menurut syara’ yaitu mempergunakan tanah yang bersih guna menyapu muka dan tangan untuk mengangkat hadast menurut cara yang ditentukan oleh syara’

Mandi menurut bahasa adalah membasuh badan. Sedangkan mandi meurut istilah syara’ adalah meratakan air pada seluruh anggota badan dari ujung rambut hingga ujung kaki disertai dengan niat.

B.  Daftar Pustaka
Syekh Syamsuddin Abu Abdillah. 2010, Terjemah Fathul Qarib. Surabaya: Mutiara Ilmu cet pertama.
Ibnu Hajar al-Asqalany, 2008. Bulughul Maram, Tasikmalaya: Pustaka Al-Hidayah.
Alawi Abbas Al-Maliki, Hasan Sulaiman Al-Nuri, 2010., Ibanah Al-Ahkam, Kuala Lumpur: Al-Hidayah,
Sayyid Sabiq,  1993, Fiqih Sunnah 1, Bandung: PT Al-Ma’arif.



[1] Syekh Syamsuddin Abu Abdillah. Terjemah Fathul Qarib. (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), cet pertama, hal. 13.
[2] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Tasikmalaya: Pustaka Al-Hidayah, 2008, hal.56
[3] Alawi Abbas Al-Maliki, Hasan Sulaiman Al-Nuri, Ibanah Al-Ahkam, Kuala Lumpur: Al-Hidayah, 2010, hal. 175
[4] Sayyid Sabiq,  Fiqih Sunnah 1, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1993, hal.117

Post a Comment for "THOHAROH: WUDLU, TAYAMUM, DAN MANDI"