Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Beberapa Masalah Fiqhiyah Dalam Konteks Ibadah dan Dasar Hukumnya

BEBERAPA MASALAH FIQHIYAH DALAM KONTEKS IBADAH
DAN DASAR HUKUMNYA
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang



Kemajuan pengetahuan dan teknologi dewasa ini berdampak langsung terhadap perubahan sosial dan dinamika masyarakat. Dari perubahan-perubahan sosial yang terjadi  akhirnya melahirkan persoalan-persoalan hukum. Adalah suatu kenyataan apabila sering terjadi kesenjangan antara nash-nash hukum yang sangat terbatas dan persoalan-persoalan kehidupan yang terus berkembang semakin kompleks. Dari fenomena masyarakat yang semakin kompleks tersebut, menuntut kita untuk kreatif dan responsif dalam menganalisa dan memecahkan paradigma dalam rangka menawarkan solusi. Solusi yang bukan sekedar tawaran pemecahan hukum. Namun lebih dari itu, solusi dalam rangka sosialisasi dan membumikan fiqh di tengah masyarakat.



Hal ini telah diilustrasikan oleh Al-Syahrastani dalam “al-Milal Wa al-Nihal” tentang masalah-masalah yang menuntut hukumnya dalam fiqh, beliau mengeluarkan dimensi elastisitas fiqh dengan al-qiyas dan ijtihad sebagai jaminan komprehensif ajaran Islam. Seperti dalam hal ibadah, yang mana ibadah merupakan sebuah pernyataan penghambaan kita terhadap Allah SWT. Maka dari itu dalam menghambakan diri kepada Allah SWT, kita dituntut untuk menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi Semua larangan-Nya. Tentu dengan penuh keyakinan bahwa semua yang telah Allah tetapkan akan kembali kepada kita yakni untuk kemashlahatan kita sebagai hamba.



Namun dibalik itu semua seringkali muncul masalah-masalah dalam menjalankannya. Seiring perkembangan zaman Syia’ar Ubudiayah Islamiayah saat ini banyak sekali mengalami proses akulturasi dan persinggungan dengan budaya teknologi modern. Seperti telah terciptanya alat transportasi bernama pesawat untuk melakukan perjalanan haji yang membutuhkan biaya yang besar walaupun waktunya lebih singkat. Selain itu juga masih banyak lagi permasalahan-permasalahan ubudiyah lainnya yang muncul seiring dengan perkembangan zaman ini, seperti Ta’adud al-Jum’at dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai masalah-masalah tersebut yaitu mengenai masail fiqhiyah dalam konteks ibadah dan dasar hukumnya.



B.    Rumusan Masalah

1.    Apakah Sholat Jum’at Dibeberapa Masjid Dalam Satu Wilayah Mempunyai Legalitas Dalam Syari’at?
2.    Bagaimanakah Dilema Antara Biaya Pendidikan Dan Istitha’ah Dalam Haji?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ta’adud Al-Jum’at (Shalat Jum’at Lebih Dari Satu Tempat)
1. Pengertian Sholat Jum’at
Secara etimologi kata Al-Jum’at berasal dari  kata jama’a yang berarti pengumpulan. Sebagian riwayat mengatakan karena dihari itu penciptaan Adam a.s. dihimpun dari air dan tanah.[1] Shalat jum’ah pertama dikerjakan ketika beliau Nabi hijrah ke Madinah, dan pertama mengerjakannya adalah As’ad bin zuroroh bersama Mush’ab bin Umair.

Shalat Jum'at merupakan salah satu kewajiban umat Islam atas orang-orang pria yang beriman (mukmin), dewasa (baligh), merdeka, sehat jasmani dan rohani, serta tidak sedang bepergian jauh (musafir). Oleh karena itu, orang-orang yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum' at tidak boleh meninggalkannya. Agar shalat Jum'at dapat dilaksanakan dengan sempurna, maka Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman meninggalkan segala bentuk perdagangan atau pekerjaan lain yang dapat menghalang-halangi atau mengganggu pelaksanaan ibadah shalat Jum' at.

Perihal wajibnya shalat jum’at untuk setiap individu sudah menjadi kesepakatan kalangan fuqaha. Dasarnya, karena sholat jum’at merupakan pengganti kewajiban lainnya, dalam hal ini ialah salat Zhuhur. Disamping itu karena firman Allah (QS. Al-jumu’ah: 9)

 تَعْلَمُونَ كُنتُمْ إِن خَيْرٌ ذَلِكُمْ اْلبَيْعَ وَذَرُوا اللهِ ذِكْرِ إِلَى فَاسْعَوْا  الْجُمْعَةِ يَوْمِ مِن لِلصَّلاَةِ  نُودِيَ إِذَ ءَآمَنُوا يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”( QS. Al-jumu’ah: 9)

2. Permasalahan Ta’adud al-Jum’at

Keberadaan suatu masjid bagi masyarakat menjadi sangat penting dikarenakan selain menjadi tempat sholat berjama’ah bagi mereka, masjid juga merupakan tempat belajar dan mengajar, balai pertemuan mereka untuk membicarakan berbagai permasalahan Islam dan kaum muslimin, serta tempat pemersatu yang bisa menghilangkan berbagai fanatisme kedaerahan, kesukuan dan kebangsaan mereka untuk kemudian diikat oleh ikatan aqidah islamiyah. Untuk itu yang pertama kali dilakukan Rasulullah Saw. setibanya di Madinah adalah membangun masjid sebelum mempersaudarakan antara kaum Muhajirin yang datang dari Mekah dengan kaum Anshor sebagai penduduk asli Madinah.

Didalam buku-buku Islam disebutkan bahwa pembangunan masjid saat itu dilakukan oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya secara bergotong-royong dikarenakan keberadaannya menjadi kebutuhan mendesak bagi mereka semua. Kaum muslimin pada saat itu saling berlomba memberikan kontribusinya dalam membantu penyelesaian masjid tersebut. Selain adanya kerja sama diantara kaum muslimin didalam membangun fisik masjidnya mereka juga diharuskan untuk melakukan hal yang sama didalam memakmurkannya. Dalam memakmurkan masjid diantara kaum muslimin berlandaskan pada firman Allah swt.

Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah : 17 – 18).

Yang sangat disayangkan saat ini dari kaum muslimin adalah mereka berlomba-lomba didalam membangun masjid tanpa memperhatikan jarak antara satu masjid dengan masjid yang lainnya. Tidak jarang kita temukan jarak antara dua masjid saling berdekatan, hanya beberapa ratus meter saja, bahkan didalam satu komplek perumahan yang tidak seberapa besar terdapat dua buah masjid belum lagi mushollanya. Hal seperti ini menjadikan berkurangnya fungsi masjid sebagai pemersatu bagi kaum muslimin.

Memang menjadi sangat relatif, ketika kita bicara jarak, sebab pada dasarnya memang belum ada tuntunan khusus Rasullulah Saw. mengatur berapa jarak yang ideal untuk mendirikan masjid. Adapun sebuah hadist yang memuat tentang pembangunan masjid sebagai berikut:[2]

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ : أَمَرَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِبِنَاءِ اَلْمَسَاجِدِ فِي اَلدُّورِ  وَأَنْ تُنَظَّفَ  وَتُطَيَّبَ  رَوَاهُ أَحْمَدُ  وَأَبُو دَاوُدَ 

Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan untuk membangun masjid di kampung-kampung dan hendaknya dibersihkan dan diharumkan. (Riwayat Ahmad Abu Dawud)

Makna hadits diatas adalah Rasulullah Saw. memerintahkan membangun masjid dan tempat untuk mengumandangkan azdan. Dan juga Rasulullah SAW. memerintahkan supaya setiap daerah dan kota mesti dibangun sebuah masjid untuk tempat mendirikan sholat. Pada hadis tersebut juga mensyariatkan membangun masjid di setiap kampung dan menggunakannya sebagai tempat beribadah dan solat berjamaah lima waktu agar penduduk setempat tidak ketinggalan untuk mendapat keutamaan pahala berjamaah, kerana kedudukan tempat tinggal mereka yang berjauhan dengan masjid besar. Selain itu kita juga dianjurkan membersihkan masjid-masjid dari kotoran serta memberikan wewangian yang sewajarnya untuk masjid.

3. Hukum Fiqh Menyikapi Ta’adud Al-Jum’at

Shalat Jum’at merupakan rutinitas ritual umat Islam yang menjadi penopang syiar yang efektif dalam membentuk tradisi yang jama’i, yaitu keinginan untuk berpegang teguh pada tali Allah dalam rangka berjuang mengangkat panji-panji Islam.

Pada zaman sekarang dalam pelaksanaan shalat jum’at menurut sebagian kalangan harus terpusat di satu tempat. Hal ini terkadang menimbulkan masalah disaat keadaan menuntut sebagian masyarakat membuat lokasi alternatif. Mungkin anggapan mereka hal itulah yang terbaik dengan alasan kondisi pemukiman, kapasitas tempat peribadatan dan interaksi sosial di tengah-tengah mereka yang menjadi faktor-faktor potensial pemicu kejadian semacam itu. Menyikapi perkembangan di atas, statement mayoritas ulama secara tegas memang menghukumi wajib melakukan shalat jum’at di satu tempat dalam sebuah balad atau qaryah. Al-Syafi’i dalam hal ini berpendapat bahwa shalat jum’at jelas tidak diperkenankan lebih dari satu tempat, baik ada hajat atau tidak. Namun istinbath (penggalian) dari ulama syafi’iyyah dalam permasalahan ini akhirnya bervariasi, sebagian memperbolehkan dengan batas hajat tertentu dan yang lain mengatakan tidak diperbolehkan dengan mendasarkan pendapatnya pada nash sharih (statement tegas) dari al-Syafi’i.[3]

Faktor pemicu terjadinya ta’adud al-jum’at di atas sangat luas pemahamannya apabila kita dalami satu persatu. Hanya saja syari’at mempermudah kita dengan memberikan sebuah standar yang lebih fokus dengan mengembalikan kepada batasanurfi (tradisi mayoritas masyarakat) yang ditopang rasionalisasi tinggi, yaitu semua faktor yang sudah sampai pada tingkat kesulitan yang diluar batas kemampuan (masyaqat laa tuhtamalu a’datan). Artinya semisal konflik masyarakat dalam satu daerah sudah sampai menyebabkan antar pihak sulit berkumpul hingga pada taraf hampir mustahil atau semisal kapasitas tempat shalat yang terbatas dan tidak memungkinkan menampung seluruh masyarakat di daerah tersebut, disitulah ta’adud al-jum’at diperbolehkan. Selain itu Imam Anwar al-Dabili menambahkan satu redaksi lagi yaitu “ba’uda athraf al-balad” (jauhnya jarak batas kawasan). [4]

Mungkin maklum kiranya bahwa taklif (tuntutan) dalam masalah ini tidak bisa ditawar bagi mereka yang masuk kategori laki-laki, baligh, berakal, merdeka, bertempat tinggal tanpa ada udzur syar’i. Beberapa syarat lain yang harus dipenuhi sebagai syarat sah dalam shalat Jum’at mencakup empat hal:[5]

Pertama,dilaksanakan secara total diwaktu dzuhur.
Kedua, tempat pelaksanaan harus  pada batas territorial sebuah pemukiman yang terdiri dari bangunan perumahan, baik berupa balad (dimasa sekarang kira-kira seluas desa) atau qaryah (kira-kira seluas dusun).
Ketiga, tidak didahului maupun bersamaan dengan sholat jum’at lain dalam satu wilayah (balad atau qaryah). Hal ini selama tidak ada factor yang memperkenankan shalat jum’at dibeberapa lokasi.
Keempat, dilakukan berjamaah oleh mereka yang berstatus penduduk tetap dengan jumlah minimal empat puluh orang menurut al-Syafi’I dan Ahmad. Sedangkan versi lain menyebutkan secara bervariasi ada yang cukup dilakukan dua orang saja dan ada yang mengharuskan sampai tiga orang, itupun harus dilakukan bersama satu imam.


B.     Dilema Antara Biaya Pendidikan Dan Istitha’ah Dalam Haji
1. Permasalahan Haji
Dengan semakin meningkatnya teknologi transportasi, perjalanan jarak jauh dapat ditempuh dalam rentan waktu yang singkat. Jarak tidak lagi dianggap sulit untuk dilalui. Dibuktikan dengan singkatnya jarak tempuh antara indonesia dan tanah suci makkah. Kecanggihan teknologi, disatu sisi menawarkan efisiensi waktu, namun jelas berimplikasi mahalnya dana pembiayaan ONH. Padahal disisi lain, kebutuhan keluarga yang ditinggal tidak bisa terabaikan. Terutama menyangkut kebutuhan harian dan biaya pendidikan bagi anak-anaknya. Tidak jarang terjadi permasalahan yang mengganggu kelancaran proses pembayaran ONH. Mungkin, karena tidak ingin mengorbankan pendidikan sang anak yang membutuhkan biaya yang cukup tinggi, terkadang mereka menagguhkan haji yang sudah direncanakan. Problem ini juga dialami komunitas santri yang dikirim untuk mengenyam pendidikan agama di instansi pesantren.

Padahal ibadah haji merupaka rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi yang mampu. Hal ini telah digariskan Allah dalam QS. Ali Imran:97

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

Dalam ayat tersebut Allah menegaskan bagi setiap muslim harus melaksanakan ibadah haji sebagai bentuk kepatuhan seorang hamba kepada sang Kholiq. Predikat sebagai sosok manusia yang harus bertanggung jawab atas semua kewajiban harus diemban dan direalisasikan oleh tiap muslim dikawasan manapun baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda semua terbebani kewajiban ini. Hal ini dapat dipahami dari redaksi “an-Naas” yang dalam kosakata Arabmencakup seluruh individu muslim apapun status dan kondisinya.[6] Akan tetapi memandang subtansi ibadah haji berlainan dengan bentuk ibadah wajib lain, maka pada taraf kelanjutannya, kewajiban diatas hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah sampai pada standar yang terangkum dalam konsep Istitho’ah, semua akan terkena kewajiban menjalani prosesi suci ini.

Rasulullah telah menekankan adanya persiapan dan persediaan yang meamadai baik bagi pelaku haji maupun keluarga yang ditinggalkan. Harus ada keseimbangan menajemen keuangan agar tidak terjadi konfrontasi antara kebutuhan pribadi dan keluarga. Rasul SAW. bersabda:

sudah dapat dikatakan berdosa, seseorang yang menelantarkan kebutuhan pokok orang yang menjadi tanggung jawabnya.

2.      Permasalahan Pendidikan
Pendidikan dalam wacana keislaman merupakan kewajiban atas setiap muslim, untuk dapat meraih predikat hamba yang shaleh dan menjalankan semua syari’at Allah, langkah awal yang harus diambil adalah menempuh jalur pendidikan. Pengetahuan dan pemahaman yang detail akan esensi sunnah Rasul dan segala ajarannya, harus ditempuh melalui proses edukasi terlebih dahulu, dengan harapan agar ibadah atau transaksi muamalah yang dilakukan tidak sampai dikatakan menyimpang dari hukum syariat. Dari permasalahan tersebutlah agama Islam mengelompokkan kewajiban menuntut ilmu sebagai tanggung jawab setiap pribadi muslim. Bahkan sejak usia dini, rangsangan minat belajar dan menimba ilmu perlu ditanamkan oleh orang tua terhadap putra-putrinya.

Memandang keterkaitan antara orang tua dan anak inilah akhirnya syariat memberikan tanggungjawab kepada orangtua untuk mendidik putra-putrinya mengenai dasar-dasar agam islam.hal ini tercermin dari sabda Nabi:

perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Dan pukullah (hukumlah) mereka jika meninggalkan shalat bila telah berumur sepuluh tahun. Dan pisahkanlah (sendirikanlah) mereka ditempat tidur.”

Dari hadis diatas Nabi mengungkapkan redaksi Al-shalat, yang menurut pandangan al-Asqalani diartikan sebagai kewajiban untuk mendidik atas seluruh hal yang terkait denga shalat seperti syarat dan rukun.[7]

Selain tanggung jawab mendidik anaknya, orang tua jugabertanggung jawab atas nafkah keluarganya, teramasuk biaya pendidikan anak-anaknya. Namun para ulama ulama’ membatasi pada ilmu yang bernuansa agamis saja yang dapat mempengaruhi formulasi hukum wajib nafkah pada orang tua. Para ulama dalam hal ini lebih menitik beratkan nilai positif bagi seorang anak dalam penentuan sosok yang wajib bertanggung jawab tentang biaya tersebut. al-Jamal dalam Qamaruzzaman memandang bahwa:

“kemajuan mental dan kepentingan individu anak adalah prioritas utama dalam kebijakan itu. Jika kemaslahatan pada masa depan anak tersebut tergantung kemampuan pada ketenagakerjaan karena adanya tuntutan  kondisi financial yang minim, maka bagi pihak orang tua hendaknya mengarahkan anak didiknya kejalur tersebut. sehingga orang tua tidak diperkenankan untuk memaksa si anak untuk menuntut ilmu meskipun skill yang dimiliknya tergolong bagus.”[8]

Sebagai konsekuensinya, biaya non nafaqah seperti uang administrasi, biaya transportasi, SPP dan lainnya dilimpahkan kepada anak sendiri. Lantaran jalur yang ditempuh oleh anak jelas kembali pada kemaslahatannya di hari esok.

2.      Kesimpulan Dilema Antara Biaya Pendidikan Dan Istitha’ah Dalam Haji
Biaya hidup dan pendidikan anak dapat mempengaruhi penentuan Istitha’ah dalam ibadah haji, jika memang sisa dana yang telah digunakan untuk membayar biaya tersebut tidak mencukupi untuk digunakan menunaikan ibadah haji. Sedangkan mengenai biaya hidup (nafaqah) seorang anak yang sedang menempuh ilmu menjadi tanggungjawab orang tua dengan syarat:

1.      Anak tidak memiliki harta yang cukup untuk membiayai hidupnya
2.      Ilmu yang dipelajari tergolong ilmu syari’at
3.     Pada umumnya anak bisa diharapkan kesuksesannya karena memiliki kemampuan yang memadai
4.      Bila si anak lebih mengedapankan bekerja maka akan menghambat efektifitas dan rutinitas yang dijalaninya.
Sedangkan mengenai biaya pendidikan (Ujrah al-Ta’lim) tetap dibebankan kepada sang anak. Dan biaya tersebut dapat dilimpahkan kepada orang tua bila anak tidak mampu mencukupi kebutuhan pendidikan itu. Jadi orang tua hanya berkaitan dengan biaya hidup dan mengenai biaya pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada si anak. Namun apabila orang tua telah mencukupi pembayaran tersebut, maka status dana yang diberikannya adalah al-Qardl (hutang) atau al-Tabarru’ (pemberian tanpa mengaharapkan kompensasi).

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Ta’adud al-Jum’at pada dasarnya tidak diperbolehkan, tetapi bisa menjadi boleh ketika hajat tertentu, al:
a.       semisal konflik masyarakat dalam satu daerah sudah sampai menyebabkan antar pihak sulit berkumpul hingga pada taraf hampir mustahil
b.      kapasitas tempat shalat yang terbatas dan tidak memungkinkan menampung seluruh masyarakat di daerah tersebut,
c.       jauhnya jarak batas kawasan

2.      Biaya hidup dan pendidikan anak dapat mempengaruhi penentuan Istitha’ah dalam ibadah haji, jika memang sisa dana yang telah digunakan untuk membayar biaya tersebut tidak mencukupi untuk digunakan menunaikan ibadah haji. Sedangkan mengenai biaya hidup (nafaqah) seorang anak yang sedang menempuh ilmu menjadi tanggungjawab orang tua dengan syaratAnak tidak memiliki harta yang cukup untuk membiayai hidupnya
a.       Ilmu yang dipelajari tergolong ilmu syari’at
b.      Pada umumnya anak bisa diharapkan kesuksesannya karena memiliki kemampuan yang memadai
c.       Bila si anak lebih mengedapankan bekerja maka akan menghambat efektifitas dan rutinitas yang dijalaninya.

Daftar Pustaka
Qomaruzzaman, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Tim Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003.

Machfuddin Aladip, Bulughul Maram Terjemahan dari Al-Asqalani, Semarang, Toha Putra. 2010.



[1] Qomaruzzaman, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Tim Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003, hlm.47.
[2] Machfuddin Aladip, Bulughul Maram Terjemahan dari Al-Asqalani, Semarang, Toha Putra. 2010, Hlm. 354.
[3] Qomaruzzaman, Op.Cit, hlm.53.
[4] Ibid, Hlm. 56.
[5] Ibid, Hlm. 52.
[6] Ibid, Hlm, 84
[7] Ibid, Hlm, 94
[8] Ibid, Hlm, 97

Post a Comment for "Beberapa Masalah Fiqhiyah Dalam Konteks Ibadah dan Dasar Hukumnya"