Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM MAQASIDUL SYARI’AH


A.    Pengertian Maqasidul Syari’ah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari Maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.

Sedangkan Syari’ah secara bahasa berasal dari kata syara’a yang berarti sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya. Dari sinilah terbentuk kata syari’ah yang berarti Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan. Jadi Maqasid as-Syari’ah ialah tujuan Allah dan Rosul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rosullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

B.     Macam Macam Maqasidul Syariah

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan hukum  tiga kelompok yaitu:[1]
1.      Dharuriyyat adalah memelihara segala sesuatu yang dhoruri bagi kehidupan manusia. Urusan-urusan dhoruri itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia yang apabila tidak diperoleh, akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbul lah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan dhoruri tersebut kembali pada lima pokok:

a.       Agama (hifdhu al-din)
Agama merupakan keharusan bagi manusia, dengan nilai-nilai kemanusiaaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia lebih tinggi derajatnya dari derajat hewan. Sebab keagamaan adalah ciri khas manusia.

b.      Jiwa (hifdhu al-nafs)
Memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakan melukai.Termasuk juga memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh zina), mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa.

c.       Aqal (hifdhu al-‘aql)
Aqal ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan, atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat prefentif yang dilakukan syariat Islam sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakannya.

Diharamkannya meminum arak dan segala sesuatu yang memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal.

d.      Keturunan (hifdhu al-nasl)
Keturunan ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya. Hal itu dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.

e.       Harta (hifdhu al-mal)
Mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya ghashab, pencurian. Mengatur sistem muamalah atas dasar keadilan dan kerelaan serta mengatur berbagai transaksi ekonomi untuk meningkatkan kekayaan secara proporsional melalui cara-cara yang halal, bukan mendominasi kehidupan perekonomian dengan cara yang lalim dan curang.[2]

2.       Hajiyyat[3]
Urusan ini ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh maka tidak akan merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja. Urusan-urusan yang dihayati dalam melengkapi segala hal yang menolak kepicikan, meringankan kesukaran taklif dan memudahkan jalan-jalan bermuamalah.

3.      Tahsiniyyat
Yang dimaksud dalam urusan –urusan yang mengindahkan ialah segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali kepada soal akhlak dan adat istiadat  yang bagus dan segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama. [4]

B.     PEMBAGIAN HUKUM MAQOSIDUL SYARI’AH
A.    HUKUM TAKHLIFI

1.      Pengertian Takhlifi
Takhlifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya.

2.  Pembagian Hukum Takhlifi
Hukum takhlifi dibagi menjadi lima bagian yaitu:
a)        Wajib  ialah apa yang dituntuti oleh syara’ kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras atau dalam definisi lain suatu perbuatan kalau dikerjakan akan mendapat pahala dan kalau ditingalkan akan mendapat siksa. Seperti dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah:
ۚ الزَّكَاةَ وَآتُوا الصَّلَاةَ وَأَقِيمُوا
Artinya : “Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”.[5]

b)      Sunnah (mandub) ialah sesuatu yang diperintahkan oleh syari’ agar dikerjakan oleh mukallaf secara tidak pasti, artinya suatu perbuatan kalau dilaksanakan mendapat pahala, tetapi kalau ditinggalkan tidak apa-apa/tidak mendapat dosa. Seperti dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 282
 ۚ فَاكْتُبُوهُ مُسَمًّى أَجَلٍ إِلَىٰبِدَيْنٍ تَدَايَنْتُمْ إِذَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
Artinya : “Hai orang orang yang Meriman apabila kamu bermuamalah (utang piutang) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya”.[6]

c)      Haram adalah Apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras. Atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan kalau diperbuat akan mendapat siksa dan kalau ditinggalkan akan mendapat pahala. Seperti contoh dalam Q.S Al-Maidah:3
اللَّهِ لِغَيْرِ أُهِلَّ وَمَا الْخِنْزِيرِ وَلَحْمُ وَالدَّمُ الْمَيْتَةُ عَلَيْكُمُ حُرِّمَتْ
Artinya : ‘’diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging) yang disembelih atas nama selain Allah.[7]

d)     Makruh ialah apa yang dituntut syara untuk meningalkannya namun tidak begitu keras. Atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa kalau dikerjakan. Seperti sabda Rosulullah SAW yang artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak” (H.R.Abu Daud, Ibnu Majjah, Al-Baihaki dan Hakim).[8]

e)      Mubah ialah sesuatu yang oleh syari’ seorang mukallaf diperintah memilih di antara mengerjakan atau meninggalkan. Maka syari’ tidak memerintah mukallaf agar mengerjakan pekerjaan  ini dan tidak meminta untuk meninggalkan. Seperti dalam firman Allah Q.S Al-A’raf:31
وَاشْرَبُوا وَكُلُوا
Artinya : “Dan makanlah serta minumlah’’[9]

3.      HUKUM  WADH’I
Hukum wad’i adalah ketentuan Allah SWT yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,mani’,syah,fasid,azimah dan rukhsoh. Al-Amidi dalam kitabnya al-Ihkam menerangkan bahwa hukum wadh’i itu ada tujuh macam, sebagai berikut:[10]

a)      Sebab ialah Titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan seebab bagi wajib dikerjakannya suatu pekerjaan. Seperti dalam surat ayat yang artinya: “siapa diantara kamu yang telah melihat bulan (hilal) maka berpuasalah”. Contoh lain adalah seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar,dalam sabda rosulullah SAW yang berbunyi: Setiap yang memabukkan itu adalah haram.(H.R Muslim,Ahmad ibn hambal dan Ashhab al-sunan).

b)      Syarat ialah Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu, missal sabda rasulullah SAW. Yang artinya: Allah tiada menerima sholat salah seorang diantara kamu bila dia berhadash sehingga dia berwudhu. Berdasarkan hadist diatas nyatalah bahwa suci dari hadast ditetapkan sebagai syarat bagi diterimanya sholat.

c)      Mani’ ialah Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu menghalangi berlakunya (sahnya) sesuatu hukum. Umpamanya sabda rasulullah SAW. Yang mmempunyai arti “Dari Abu Hurairah Nabi SAW,bersabda:Pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan”. (HR.Tirmidzi) Contol lainnya : Kondisi haid pada wanita yang telah mukallaf ditetapkan syari’ sebagai penghalang bagi wanita tersebut untuk melakukan sholat,hal ini dijelaskan dalam hadits: “Apabila telah datang haid maka hendaklah engkau meninggalkan sholat dan apabila telah berakhir haid tersebut,maka hendaklah engkau mandi dan lakukanlah sholat”. (H.R bukhori)

d)     Syah ialah Titah yang menerangkan sahnya sesuatu pekerjaan, yaitu apabila kita diperintah mengerjakan sesuatu pekerjaan dan telah memenuhi sebab dan syaratnya sertsa terlepas dari penghalangnya,yakinlah kita bahwa pekerjaan itu telah menjadi sah, melepaskan diri dari tugas-tugas pelaksanaannya.

e)      Fasid/Batal ialah Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu bathal, tidak dipandang sah, tidak dihukum terlepas yang membuatnya dari tugas.

f)       Azimah ialah Titah yang menegaskan atas para mukallaf, tugas-tugas yang diberatkan sebagai suatu hukum yang umum, bukan karena suatu pengecualian.

g)      Rukhsoh ialah Titah yang memberi pengertian bahwa hukum yang dimaksud itu sebagai ganti hokum azimah. Yakni yang dikerjakan lantaran dipandang sukar menjalankan yang azimah.



DAFTAR PUSTAKA

Muin Umar Dkk. Ushul Fiqh I. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama: Jakarta. 1986.

Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kaidah Hokum Islam(Ilmu Ushulul Fiqh).  Raja Grafindo Persada: Jakarta. Cet VI.1996.

Syafi’i Karim. Fiqih-Ushul Fiqih. Pustaka Setia. Bandung. Cet ii. 2001.

M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus. Jakarta, Cet III, 2003

Kairul Uman Dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II. Pustaka Setia: Bandung. 2001




[1] Kairul uman dan   Ahyar Aminudin. Ushul Fiqih II, Bandung, 2001, hal. 128
[2] M Abu Zahrah. 2003. Ushul fiqh. Jakarta.cet III. hal. 548
[3]Op.Cit. hal.129
[4] Ibid.
[5] syafi’I Karim. 2001. fiqih-ushul fiqih. Bandung. CetII. Hal.93.
[6] Ibid.hal.94.,
[7] Ibid.hal. 97-98.,
[8] Ibid.hal.102-103.,
[9] Abdul wahhab khallaf. 1996. Kaidah-Kaidah Hokum Islam(Ilmu Ushulul Fiqh). Jakarta. cet VI. hal.179-180
[10] Muin umar dkk. ushul fiqh I. 1986. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. Jakarta. Hal.24.,

Post a Comment for "PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM MAQASIDUL SYARI’AH"