Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

PSIKOLOGI DENGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
 

A.    Latar Belakang

Dalam percakapan sehari-hari dikalangan masyarakat umum masih sering terjadi ketidak konsistenan dalam menggunakan istilah anak berkebutuhan khuus. Istilah anak berkebutuhan khusus oleh sebagian orang dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak berkelaianan atau anak penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja tidak tidak tepat, sebab pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung makna yang lebih luas, yaitu anak-anak yang memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak penyandang cacat. Mereka memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi.

Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang ”Psikologi Dengan Anak Berkebutuhan Khusus” yang mencakup klasifikasi dan karakteristik anak berkebutuhan khusus serta model pembelajarannya. Uraian yang terkandung dalam makalah ini dimaksudkan agar para pembaca terutama para mahasiswa calon guru memiliki pemahaman yang jelas tentang anak berkebutuhan khusus. Ketika pada saatnya nanti menjadi guru memiliki sikap positif terhadap keragaman setiap anak dan keragaman itu diakomodasi dalam pembelajaran di sekolah.

B.     Rumusan Masalah
1)      Bagaimankah Klasifikasi dan Karakteristik Anak  Berkebutuhan Khusus ?
2)      Apasajakah Model Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus ?


PEMBAHASAN

A.     Klasifikasi dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-anak secara umum atau rata-rata anak seusianya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya. Sementara menurut Heward, anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus  yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. [1]

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain dari Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.

Ada beberapa kategori anak berkebutuhan khusus, antara lain :
1.        Anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra) 

Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar.[2] Anak-anak dengan gangguan penglihatan dapat dietahui dalam kondisi berikut:

a.       Ketajaman penglihatannya  kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas
b.      Terjadi kekruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
c.       Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak
d.      Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.

Dari kondisi-kondisi di atas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya.
Berdasarkan uraian diatas anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:

1)      Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0).
2)      Low Vision
Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya/visus centralis 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.

Anak tunanetra memiliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik dan kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini sangat tergantung pada sejak kapan anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya, serta bagaimana tingkat pendidikannya.

2.      Anak dengan Gangguan Pendengaran ( Tuna Rungu )
Tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional didalam kehidupan sehari-hari.[3]

Gangguan pendengaran merupakan gangguan yang menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan maupun tanpa alat pengeras, bersifat permanen maupun sementara, yang mengganggu proses pembelajaran anak.

a. Karakteristik Anak Tuna Rungu
Secara umum anak tunarungu tidak mampu mendengar, terlambat perkembangan bahasa, sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, Kurang / tidak tanggap bila diajak bicara, ucapan kata tidak jelas, kualitas suara aneh/monoton, sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar, banyak perhatian terhadap getaran, keluar nanah dari kedua telinga, terdapat kelainan organisme telinga.

b. Kemampuan bahasa dan bicara anak tunarungu
Terdapat kecendrungan bahwa seseorang yang mengalami tunarungu seringkali diikuti pula dengan tunawicara. Kondisi ini tampaknya sulit dihindari, karena keduanya dapat menjadi suatu rangkaian sebab-akibat. Seorang penderita tunarungu, terutama jika terjadi sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, dapat dipastikan akan mengakibatkan kelainan bicara (tuna wicara) pada diri penderita. Namun tidak demikian halnya dengan seorang penderita tunawicara, tidak ditemukan rangkaian langsung dengan kondisi tuna rungu.

3.      Anak Retardasi Mental ( Tuna Grahita )
Seorang dikategorikan berkelainan mental subnormal, lemah ingatan atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya (Bratanata, 1979).

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Anak tuna grahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal.[4]

a. Klasifikasi anak tunagrahita
Klasifikasi  tunagrahita berdasarkan derajat keterbelakangannya :
1)      Tunagrahita ringan/mampu didik (debil atau moron), IQ 50-69
2)      Tunagrahita sedang/mampu latih (imbecil), IQ 30-40
3)      Tunagrahita berat/mampu rawat (idiot), IQ 0-29

b. Karakteristik Umum Anak Tunagrahita
Tunagrahita merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal, ada beberapa karakteristik umum anak tunagrahita yang dapat kita pelajari, sebagai berikut:
a)      Keterbelakangan Intelegensi
Seperti ketidakmampuan untuk mempelajari informasi dan ketrampilan-ketrampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan serta kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
b)      Keterbatasan Sosial
Anak tunagrahita memiliki kesulitan dalam  mengurus diri sendiri dalam masyarakat, cenderung berteman dengan anak yang lebih muda dari usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab social dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi, cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.

4.      Anak dengan Kelainan Fisik ( Tunadaksa) 
Secara etiologis, gambaran seorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan.[5]

Klasifikasi anak tunadaksa
Secara umum karakteristik penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi 2 :
a.       Tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped)
Ialah anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian, baik yang dibawa sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal.
b.      Tunadaksa saraf (neurologically handicapped)
Anak yang mengalami ganaguan pada susunan saraf di otak. Otak sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organism fisik, emosi dan mental.

5.      Anak Berkelainan Perilaku (Tunalaras)
 
Menurut ketentuan yang ditetapkan dalam UU Pokok Pendidikan Nomor  12 Tahun 1952, anak Tunalaras (behavioral disorder) adalah individu yang mempunyai tingkahlaku menyimpang atau berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran trhadap paraturan dan norma-norma social dengan frekuensi yang cukup besar, tidak atau kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.[6]
(Somantri, 2006) Anak tuna laras sering disebut juga dengan anak Tunasosial karena tingkah laku anak tunalaras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain. Subgrup dari bentuk kelainan penyesuaian social ini adalah delinquent. Batasan tentang delinquent itu sendiri hanya diberikan jika anak terlibat dalam konflik atau pelanggaran hukum (Kirk, 1970).
 
Kondisi kecerdsan anak tunalaras
Kondisi kecerdasan anak tunalaras pada prinsipnya mengikuti distribusi normal sehingga memungkinkan tingkat kecerdasan anak tunalaras berada pada rentangan dibawah normal, rata-rata normal atau diatas normal. Apabila kondisi ketunalarasan dijumpai pada anak dengan taraf kecerdasan rendah, hal ini karena anak mengalami kesulitan dalam memahami dan mencerna norma atau aturan yang berlaku. Akan tetapi, jika ketunalarasan yang dilakukan oleh anak dengan taraf kecerdasan tinggi, hal ini karena anak terlalu kritis menilai keadaan sehingga menimbulkan konflik.

6.      Anak Berbakat (Gifted)
Menurut Sir Francis Galton (1869) keberbakatan istimewa ini adalah sesuatu yang sifatnya diwariskan. Artinya keberbakatan istimewa adalah sesuatu potensi yang menurun (genetically herediter). Anak-anak yang menunjukkan suatu bentuk bakat yang istimewa ini kemudian lazim disebut sebagai gifted children.
Hollingworth mendefinisikan keberbakatan sebagai potensi anak yang harus digali sehingga saat dewasa akan lebih berkembang. Linda Silverman menambahkan bahwa pada anak berbakat didapatkan perkembangan yang tidak sinkron. Jadi tidak hanya IQ dan kemampuan, tapi juga emosi dan hipersensitifitas.Perkembangan yang tidak sinkron maksudnya adalah perkembangan intelektual, fisik dan emosi tidak berjalan dengan kecepatan yang sama. Kemampuan intelektual selalu berkembang lebih cepat. Dengan adanya perkembangan yang tidak sinkron ini diperlukan modifikasi dalam hal pengasuhan baik oleh orangtua, guru maupun konselor agar anak dapat berkembang optimal. 
Klasifikasi anak berbakat :
a.       Cerdas, IQ : 110 – 125
b.      Gifted, IQ :  125 – 140
c.       Genius, IQ : 140 – 200

Karateristik Anak Gifted
Keberbakatan ini dapat dilihat dari berbagai area seperti: kemampuan intelektual secara umum, akademis yang khusus, berfikir kreatif, kepemimpinan, seni, dan psikomotor. Seorang anak dapat dikatakan berbakat apabila ia memiliki kemampuan yang diatas rata-rata, memiliki komitment terhadap tugas yang tinggi dan juga kreatif.

7.      Anak berkesulitan belajar  (learning disabilities)
Anak berkesulitan belajar tidak temasuk kedalam kelompok anak luar biasa yang sudah dibicarakan di atas. Mereka termasuk kedalam kelompok tersendiri yang disebut learning disabilities. Didalam dunia pendidikan luar biasa masalah kesulitan belajar merupakan bidang garapan yang masih relative mudah, belum menjadi bidang garapan yang cukup kuat. Anak berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang mengalami kesulitan belajar karena ada gangguan perseptual, konseptual, memori, maupun ekspresif didalam belajar.
Anak-anak yang berkesulitan belajar memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental dan fisik yang bisa menghambat alur belajar yang normal, menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan perceptual-motorik tertentu atau kemampuan berbahasa. Umumnya masalah ini tampak ketika anak mulai mempelajari mata pelajaran dasar seperti menulis, membaca, berhitung dan mengeja.
Berikut adalah karakteristik anak yang anak yang mengalami kesulitan belajar :
1)      Ketidakberfungsian Minimal Otak (gangguan saraf)
Ketidakberfungsian ini bisa termanifestasi dalam berbagai kombinasi kesulitan seperti : persepsi, konseptualisasi, bahasa, memori, pengendalian.perhatian, impulse (dorongan) atau fungsi motorik.
2)      Anak yang mengalami kesulitan membaca (dyslexia)
Simtom umum yang sering ditampilkan anak dyslexia ialah : Kecendrungan membaca  kata, bergerak mundur seperti ; “dia” dibaca “aid” , Kesulitan auditif, Dalam membaca keras tidak mampu mengkonversikan symbol visual kedalam symbol auditif yang sejalan dengan bunyi kata secara benar. Kata yang di ucapkan tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya.
3)      Anak yang mengalami kesulitan berbahasa (Aphasia)
Aphasia adalah suatu kondisi dimana anak gagal menguasai ucapan-ucapan bahasa yang bermakna pada usia sekitar 3 tahunan. Ketidakcakapan bicara ini tidak dapat dijelaskan karena factor ketulian, keterbelakangan mental serta gangguan organ bicara.
4)      Anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia)
Ciri-cirinya : Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 6 dengan 9, dll.
5)      Anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkula)
Kesulitan memahami simbol matematika seperti : Kesulitan dalam membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =, Sering salah membilang dengan urut, Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya, Sulit membedakan bangun-bangun geometri.

B.     Model Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
ABK memiliki tingkat kekhususan yang amat beragam,  baik dari  segi jenis, sifat, kondisi maupun kebutuhannya, oleh karena itu, layanan pendidikannnya tidak dapat dibuat tunggal/seragam melainkan menyesuaiakan diri dengan tingkat keberagaman karakteristik dan kebutuhan anak. Model layanan pendidikan bagi ABK  diantaranya adalah:

1.      Model Segregasi
Model segregasi merupakan model layanan pendidikan yang sudah lama dikenal dan diterapkan pada anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Model ini mencoba memberikan layanan pendidikan secara khusus dan terpisah dari kelompok anak normal maupun ABK lainnya.
Kelebihan dari model ini adalah anak merasa senasib, sehingga dapat menghilangkan rasa minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan  semangat menyongsong  kehidupan di hari-hari mendatang, anak lebih mudah beradaptasi dengan temannya  yang sama-sama menyandang ketunaan, anak  termotivasi dan bersaing secara sehat dengan sesama temannya yang senasib di sekolahnya.
Kekurangan adalah anak terpisah dari lingkungan anak  lainnya sehingga anak sulit bergaul dan menjalin komunikasi dengan mereka yang normal, anak merasa terpasung dan dibatasi pergaulanya dengan anak yang cacat saja sehingga pada giliranya, dapat menghambat perkembangan sosialisasinya  di masyarakat.

2.      Model Kelas Khusus
Sesuai dengan namanya, keberadaan kelas khusus tidak berdiri sendiri seperti halnya sekolah khusus (SLB), melainkan berada di sekolah umum/regular. Pada kelas khusus biasanya  terdapat beberapa siswa yang memiliki derajat kekhususan yang relatif sama.
Kelebihannya adalah anak lebih mendapatkan perlakuan dan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya karena anak dikelompokkan relative homogen, potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena pembelajarannya  menggunakan pendekatan individual atau kelompok kecil, secara  sosial.
Kekurangan adalah ABK kadang- masih mendapatkan stigma negative dari sebagian temannya  sehingga dapat mengganggu/ menghambat perkembangan belajarnya, ABK dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk bergaul dengan mereka yang bukan kategori ABK, dan sebahagian orangtua  kadang-kadang tidak terima bila anaknya dicap sebagai ABK apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama ABK dalam kelas khusus.

3.      Model Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB adalah sekolah yang diperuntukkan dan untuk menampung anak-anak berkebutuhan khusus usia sekolah dasar dari berbagai jenis dan tingkat kekhususan yang dialaminya. Dalam SDLB ada ABK kategori tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan sebagainya. Mereka belajar di kelas masing-masing yang disesuaikan dengan jenis kekhususannya, akan tetapi mereka bersosialisasi secara bersama-sama dalam satu naungan sekolah. Dilihat dari keragaman anak di SDLB dengan berbagai jenis kekhususannya tersebut,  maka SDLB sebenarnya termasuk sekolah terpadu, akan tetapi terpadu secara fisik bukan terpadu secara akademik. (Dwidjo Sumarto, 1988).
Kelebihan Model ini adalah anak merasa berada dalam dunia yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada jenis kelainan tertentu saja, dalam  perkembangan sosial anak lebih leluasa mengadakan interaksi dan komunikasi dengan sesama teman yang sangat bervariasi jenis ketunaannya, dan secara psikologis, anak dapat lebih mudah meningkatkan rasa percaya diri, menebalkan semangat, dan motivasi berprestasi.
Kekurangan : anak merasakan terbatas dalam mengembangkan interaksi dan komunikasi dengan mereka yang berkategori normal, karena anak-anak dikelompokkan berdasarkan jenis ketunaan tertentu,  sehingga kadang-kadang timbul sikap permusuhan diantara kelompok mereka.

4.      Model Guru Kunjung
Model guru kunjung dapat diterapkan untuk melayani pendidikan ABK yang  ada atau bermukim di daerah terpencil, daerah perairan, daerah kepulauan  atau tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh layanan pendidikan khusus yang telah ada, Di tempat-tempat tersebut dibentuk sanggar/kelompok-kelompok belajar tempat anak-anak memperoleh layanan pendidikan. Guru kunjung secara periodik mengunjungi  kelompok belajar yang menjadi binaannya. Kelompok belajar ini dapat dikatakan sebagai kelas jauh yang menginduk kepada SLB,SDLB, SD  terdekat. Guru kunjung tersebut biasanya diambilkan dari guru khusus yang mengajar di sekolah induknya atas penunjukan dari dinas pendidikan setempat.
Kebaikan model ini adalah anak dapat lebih  mendapat layanan pendidikan dengan tidak perlu datang ke  jauh karena sudah ada petugas/guru khusus yang mendatanginya, anak-anak bisa saling berkomunikasi dengan sesama ABK dari daerah/tempat yang lain yang saling berjauhan sehingga dapat memicu semangat  belajar, anak-anak  memperoleh pengetahuan dan keterampilan praktis dan pragmatis yang mereka butuhkan sehari-hari.
Kelemahannya adalah layanan pendidikan dengan  guru kunjung dalam banyak hal masih sulit diterapkan  karena memerlukan jaringan kerjasama  berbagai pihak, ABK di daerah terpencil, pedalaman, atau di tempat terasing lain  keberadaannya terpencar-pencar sehingga menyulitkan dalam koordinasi dalam pelaksanaan pembelajaran, masalah transportasi adalah persoalan klasik yang menjadi kendala orangtua untuk mengirimkan anaknya belajar ke sanggar belajar.

5.      Pendidikan Inklusi (Inclusive Education)
Kata inklusi bermakna terbuka. Pendidikan Inklusi berarti pendidikan yang bersifat terbuka bagi siapa saja yang mau masuk sekolah baik dari kalangan anak normal maupun ABK. Demikian pula lingkungan pendidikan, termasuk ruangan kelas, toilet, halaman bermain, laboratorium, dan lain-lain harus dimodifikasi dan dapat diakses oleh semua anak,  termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusi lazimnya sudah diterapkan di negara-negara maju, seperti Norwegia, Swedia, Denmark, USA, dan sebagian Australia. Di Indonesia model pendidikan inklusi sudah mulai banyak dirintis di beberapa sekolah tertentu, namun belum dapat sepenuhnya dilaksanakan. Dalam kasus-kasus tertentu  nama sekolah inklusi telah menjadi trade mark , tetapi dalam prakteknya tidak lebih dari sekedar sekolah terpadu biasa. Oleh karena itu di masa-masa yang akan datang sekolah inklusi di Indonesia bukan hanya sekedar nama saja tetapi diharapkan menjadi sebuah sekolah inklusi beneran seperti yang telah diselenggarakan di beberapa negara maju di Eropa, Amerika dan Australia. Ini tentu saja menjadi tugas dan komitmen bersama antara pemerintah, sekolah dan masyarakat.
Kelebihan model ini adalah  anak akan memperoleh keadilan layanan pendidikan, tidak dibedakan dari  anak normal sehingga secara tidak langsung dapat membangkitkan motivasi  dan gairah belajar di sekolah, harkat dan martabat dalam memperoleh layanan pendidikan tanpa membedakan antara yang cacat dan yang normal, dan  anak dapat bergaul dan berinteraksi secara sehat dengan teman-temannya yang normal,  sehingga  meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi berprestasi dalam belajar.
Kekurangan adalah  untuk dapat disebut sebagai sekolah inklusi dibutuhkan sarana dan prasarana yang dapat mengakses kebutuhan individual anak yang tidak gampang dipenuhi oleh sekolah yang telah menyatakan diri sebagai sekolah inklusi. Untuk dapat disebut sebagai sekolah inklusi yang sebenarnya juga dibutuhkan tenaga pendidik dan tenaga non pendidik (seperti dokter, psikolog, konselor, dan sebagainya) yang tidak serta-merta dapat dipenuhi oleh sekolah yang memproklamirkan diri sebagai sekolah inklusi.


PENUTUP
A.    Analisis
Setiap orang tua pasti mendambakan anaknya sehat, cerdas, berhasil dalam pendidikannya, dan sukses dalam hidupnya. Orang tua merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut menjadi kenyataan. Orang tua mana yang tidak bangga ketika melihat anak-anaknya sukses. Tidak jarang orang tua mengungkapkan perasaan bangga tersebut dengan menceritakan kesuksesan anaknya kepada sanak keluarga, tetangga dekat maupun jauh, teman sejawat, dan bahkan kepada siapapun yang menjadi lawan bicaranya. Namun ketika harapan dan mimpi indah tersebut tidak menjadi kenyataan, maka dunia ini terasa hancur, mimpi indah mendadak menjadi mimpi buruk yang selalu membayangi sepanjang hidupnya. Muncul rasa kecewa yang mendalam bercampur sedih, bingung, marah, putus asa, tidak bergairah, dan tidak berdaya sampai mati langkah. Bahkan cinta kasih dan sayang kepada sang anak berubah menjadi kebencian, muncul rasa malu, tidak percaya diri, berdosa, saling menyalahkan antara suami istri, muncul pertengkaran yang hebat, sampai seringkali terjadi perceraian, bahkan shok dan stres berat pun menghampirinya.
Tidak ayal lagi sang anak yang tadinya menjadi harapan masa depan yang cemerlang dan investasi yang sangat berharga akhirnya malahan menjadi korban. Anak diterlantarkan, dibiarkan, diabaikan, ditolak kehadirannya, tidak dibimbing, tidak didorong, tidak diberi semangat untuk mencapai perkembangan yang seharusnya optimal. Kondisi semacam ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Besar kemungkinan anak akan mengalami gangguan psikologis, psiko-sosial, dan perilaku serta emosi. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi pengembangan potensi anak. Lebih-lebih kalau hal ini terjadi pada seorang anak yang dinyatakan sebagai “anak berkebutuhan khusus” oleh seorang psikolog. Padahal, pada dasarnya anak-anak berkebutuhan khusus sekalipun tetap memiliki potensi yang bisa dikembangkan secara optimal. Seandainya secara merata diseluruh mata pelajaran prestasinya di bawah rata-rata, namun potensi yang dimilikinya masih bisa dikembangkan secara optimal kalau diberi layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan, potensi, dan kebutuhannya. Bahkan prestasi akademiknya sangat rendah sekalipun, namun masih bisa dilihat pada potensi lain yang bisa dikembangkan secara optimal, misalnya bakat dalam seni, olah raga, dan keterampilan lainnya. Oleh sebab itu perlu adanya pelayanan pendidikan yang tepat dan akurat agar potensi yang dimiliki anak berkebutuhan khusus lebih terencana dan terarah.


B.     Kesimpulan

1.      Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-anak secara umum atau rata-rata anak seusianya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya.

2.      Anak berkebutuhan khusus dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a)      Anak dengan Gangguan Pendengaran ( Tuna Rungu )
b)      Anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra)
c)      Anak Retardasi Mental ( Tuna Grahita )
d)     Anak dengan Kelainan Fisik ( Tunadaksa)
e)      Anak Berkelainan Perilaku (Tunalaras)
f)       Anak Berbakat (Gifted)
g)      Anak berkesulitan belajar  (learning disabilities)

3.      Macam-macam layanan pendidikan bagi ABK  diantaranya adalah:
a)      Model Segregasi
b)      Model Kelas Khusus
c)      Model Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
d)     Model Guru Kunjung
e)      Pendidikan Inklusi (Inclusive Education)


DAFTAR PUSTAKA

Somantri, T.S. 2005. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.
Suharlina, Yulia. 2010. Seri Bahan dan Media Pembelajaran Kelompok Bermain Bagi Calon Pelatih PAUD. Yogyakarta: Pdf Book.
http://ghozaliu.blogspot.com/2013/01/makalah-anak-berkebutuhan-khusus-abk.html



[1] Yulia Suharlina. Buku pdf 2010. Seri Bahan dan Media Pembelajaran Kelompok Bermain Bagi Calon Pelatih PAUD. Yogyakarta. Hlm. 6
[2] Sutjihati Somantri. 2005. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung. Hlm. 65
[3]  Ibid. Hlm. 94
[4] Ibid. Halm. 103
[5] Mohammad Efendi. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak berkelainan. Malang. Halm. 114
[6] Ibid. Halm. 143

Post a Comment for "PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS"