PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
PSIKOLOGI DENGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
A. Latar Belakang
Dalam percakapan sehari-hari dikalangan masyarakat umum masih sering terjadi ketidak konsistenan dalam menggunakan istilah anak berkebutuhan khuus. Istilah anak berkebutuhan khusus oleh sebagian orang dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak berkelaianan atau anak penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja tidak tidak tepat, sebab pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung makna yang lebih luas, yaitu anak-anak yang memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak penyandang cacat. Mereka memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang ”Psikologi Dengan Anak Berkebutuhan Khusus” yang mencakup klasifikasi dan karakteristik anak berkebutuhan khusus serta model pembelajarannya. Uraian yang terkandung dalam makalah ini dimaksudkan agar para pembaca terutama para mahasiswa calon guru memiliki pemahaman yang jelas tentang anak berkebutuhan khusus. Ketika pada saatnya nanti menjadi guru memiliki sikap positif terhadap keragaman setiap anak dan keragaman itu diakomodasi dalam pembelajaran di sekolah.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimankah Klasifikasi dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus ?
2) Apasajakah Model Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus ?
Dalam percakapan sehari-hari dikalangan masyarakat umum masih sering terjadi ketidak konsistenan dalam menggunakan istilah anak berkebutuhan khuus. Istilah anak berkebutuhan khusus oleh sebagian orang dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak berkelaianan atau anak penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja tidak tidak tepat, sebab pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung makna yang lebih luas, yaitu anak-anak yang memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak penyandang cacat. Mereka memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang ”Psikologi Dengan Anak Berkebutuhan Khusus” yang mencakup klasifikasi dan karakteristik anak berkebutuhan khusus serta model pembelajarannya. Uraian yang terkandung dalam makalah ini dimaksudkan agar para pembaca terutama para mahasiswa calon guru memiliki pemahaman yang jelas tentang anak berkebutuhan khusus. Ketika pada saatnya nanti menjadi guru memiliki sikap positif terhadap keragaman setiap anak dan keragaman itu diakomodasi dalam pembelajaran di sekolah.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimankah Klasifikasi dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus ?
2) Apasajakah Model Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus ?
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi
dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-anak secara umum atau
rata-rata anak seusianya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu
yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya. Sementara menurut Heward, anak
berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa
selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. [1]
Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain dari Anak Luar Biasa (ALB) yang
menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai
karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karena karakteristik
dan hambatan yang dimiliki, ABK
memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan
dan potensi mereka. Anak berkebutuhan khusus dapat
diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan
dengan hambatan belajar dan
kebutuhan masing-masing anak secara individual.
Ada beberapa kategori anak
berkebutuhan khusus, antara
lain :
1.
Anak
dengan gangguan penglihatan (Tunanetra)
Pengertian tunanetra tidak saja
mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi
terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup
sehari-hari terutama dalam belajar.[2] Anak-anak dengan gangguan
penglihatan dapat dietahui dalam kondisi berikut:
a. Ketajaman
penglihatannya kurang dari ketajaman
yang dimiliki orang awas
b. Terjadi
kekruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
c. Posisi
mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak
d. Terjadi
kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Dari
kondisi-kondisi di atas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan seorang
anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman
penglihatannya.
Berdasarkan
uraian diatas anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1)
Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu
menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0).
2) Low
Vision
Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari
luar, tetapi ketajamannya/visus centralis 6/21, atau jika anak hanya
mampu membaca headline pada surat kabar.
Anak
tunanetra memiliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik dan
kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini sangat tergantung pada sejak kapan
anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya,
berapa usianya, serta bagaimana tingkat pendidikannya.
2. Anak dengan Gangguan Pendengaran ( Tuna Rungu )
Tunarungu
adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing)
maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki
nilai fungsional didalam kehidupan sehari-hari.[3]
Gangguan pendengaran merupakan
gangguan yang menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan
maupun tanpa alat pengeras, bersifat permanen maupun sementara, yang mengganggu
proses pembelajaran anak.
a. Karakteristik Anak
Tuna Rungu
Secara
umum anak tunarungu tidak
mampu mendengar,
terlambat
perkembangan bahasa,
sering
menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, Kurang / tidak tanggap bila
diajak bicara,
ucapan
kata tidak jelas, kualitas
suara aneh/monoton, sering
memiringkan kepala dalam usaha mendengar, banyak perhatian terhadap getaran,
keluar nanah dari
kedua telinga, terdapat
kelainan organisme
telinga.
b. Kemampuan bahasa dan bicara anak tunarungu
Terdapat
kecendrungan bahwa seseorang yang mengalami tunarungu seringkali diikuti pula
dengan tunawicara. Kondisi ini tampaknya sulit dihindari, karena keduanya dapat
menjadi suatu rangkaian sebab-akibat. Seorang penderita tunarungu, terutama
jika terjadi sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, dapat dipastikan akan
mengakibatkan kelainan bicara (tuna wicara) pada diri penderita. Namun tidak
demikian halnya dengan seorang penderita tunawicara, tidak ditemukan rangkaian
langsung dengan kondisi tuna rungu.
3. Anak Retardasi Mental ( Tuna Grahita )
Seorang
dikategorikan berkelainan mental subnormal, lemah ingatan atau tunagrahita,
jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah
normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau
layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya (Bratanata,
1979).
Tunagrahita adalah istilah yang
digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah
rata-rata. Anak tuna
grahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan
kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara
klasikal.[4]
Klasifikasi tunagrahita berdasarkan derajat keterbelakangannya
:
1)
Tunagrahita ringan/mampu didik (debil
atau moron), IQ 50-69
2)
Tunagrahita sedang/mampu latih
(imbecil), IQ 30-40
3) Tunagrahita berat/mampu rawat (idiot), IQ 0-29
b. Karakteristik Umum Anak Tunagrahita
Tunagrahita merupakan kondisi
dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai
tahap perkembangan yang optimal, ada beberapa karakteristik umum anak
tunagrahita yang dapat kita pelajari, sebagai berikut:
a) Keterbelakangan Intelegensi
Seperti ketidakmampuan untuk mempelajari informasi
dan ketrampilan-ketrampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan
situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir
abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan,
mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan
serta kemampuan
belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
b) Keterbatasan Sosial
Anak tunagrahita
memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, cenderung
berteman dengan anak yang lebih muda dari usianya, ketergantungan terhadap
orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab social dengan
bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga
mudah dipengaruhi, cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
4. Anak dengan Kelainan Fisik ( Tunadaksa)
Secara etiologis, gambaran
seorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang
mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi tubuh sebagai akibat dari luka,
penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk dan akibatnya kemampuan untuk melakukan
gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan.[5]
Klasifikasi
anak tunadaksa
Secara
umum karakteristik penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi 2 :
a. Tunadaksa
ortopedi (orthopedically handicapped)
Ialah anak tunadaksa yang mengalami kelainan,
kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah
persendian, baik yang dibawa sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian
sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal.
b. Tunadaksa
saraf (neurologically handicapped)
Anak
yang mengalami ganaguan pada susunan saraf di otak. Otak sebagai pengontrol
tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh sehingga
jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organism fisik, emosi
dan mental.
5. Anak
Berkelainan Perilaku (Tunalaras)
Menurut
ketentuan yang ditetapkan dalam UU Pokok Pendidikan Nomor 12 Tahun 1952, anak Tunalaras (behavioral disorder)
adalah individu yang mempunyai tingkahlaku menyimpang atau berkelainan,
tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran trhadap paraturan dan norma-norma
social dengan frekuensi yang cukup besar, tidak atau kurang mempunyai toleransi
terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana,
sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.[6]
(Somantri, 2006) Anak tuna laras sering disebut
juga dengan anak Tunasosial
karena tingkah laku anak tunalaras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap
norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti
orang lain.
Subgrup dari bentuk kelainan penyesuaian social ini
adalah delinquent. Batasan tentang delinquent itu sendiri hanya
diberikan jika anak terlibat dalam konflik atau pelanggaran hukum (Kirk, 1970).
Kondisi
kecerdsan anak tunalaras
Kondisi kecerdasan anak tunalaras pada prinsipnya mengikuti distribusi
normal sehingga memungkinkan tingkat kecerdasan anak tunalaras berada pada
rentangan dibawah normal, rata-rata normal atau diatas normal. Apabila kondisi
ketunalarasan dijumpai pada anak dengan taraf kecerdasan rendah, hal ini karena
anak mengalami kesulitan dalam memahami dan mencerna norma atau aturan yang
berlaku. Akan tetapi, jika ketunalarasan yang dilakukan oleh anak dengan taraf
kecerdasan tinggi, hal ini karena anak terlalu kritis menilai keadaan sehingga
menimbulkan konflik.
6. Anak Berbakat
(Gifted)
Menurut
Sir Francis Galton (1869)
keberbakatan
istimewa ini adalah sesuatu yang sifatnya diwariskan. Artinya keberbakatan
istimewa adalah sesuatu potensi yang menurun (genetically herediter). Anak-anak
yang menunjukkan suatu bentuk bakat yang istimewa ini kemudian lazim disebut
sebagai gifted children.
Hollingworth
mendefinisikan keberbakatan sebagai potensi anak yang harus digali sehingga
saat dewasa akan lebih berkembang. Linda Silverman menambahkan bahwa pada anak
berbakat didapatkan perkembangan yang tidak sinkron. Jadi tidak hanya IQ dan
kemampuan, tapi juga emosi dan hipersensitifitas.Perkembangan yang tidak
sinkron maksudnya adalah perkembangan intelektual, fisik dan emosi tidak
berjalan dengan kecepatan yang sama. Kemampuan intelektual selalu berkembang
lebih cepat. Dengan adanya perkembangan yang tidak sinkron ini diperlukan
modifikasi dalam hal pengasuhan baik oleh orangtua, guru maupun konselor agar
anak dapat berkembang optimal.
Klasifikasi
anak berbakat :
a. Cerdas,
IQ : 110 – 125
b. Gifted, IQ : 125 – 140
c. Genius, IQ : 140 – 200
Karateristik Anak Gifted
Keberbakatan ini dapat dilihat
dari berbagai area seperti: kemampuan intelektual secara umum, akademis yang
khusus, berfikir kreatif, kepemimpinan, seni, dan psikomotor. Seorang anak
dapat dikatakan berbakat apabila ia memiliki kemampuan yang diatas rata-rata,
memiliki komitment terhadap tugas yang tinggi dan juga kreatif.
7. Anak berkesulitan belajar (learning disabilities)
Anak berkesulitan belajar tidak
temasuk kedalam kelompok anak luar biasa yang sudah dibicarakan di atas.
Mereka termasuk kedalam kelompok tersendiri yang disebut learning
disabilities. Didalam
dunia pendidikan luar biasa masalah kesulitan belajar
merupakan bidang garapan yang masih relative mudah, belum menjadi bidang
garapan yang cukup kuat. Anak
berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang mengalami kesulitan belajar
karena ada gangguan perseptual,
konseptual, memori, maupun ekspresif didalam belajar.
Anak-anak
yang berkesulitan belajar memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental
dan fisik yang bisa menghambat alur belajar yang normal, menyebabkan
keterlambatan dalam kemampuan perceptual-motorik tertentu atau kemampuan
berbahasa. Umumnya masalah ini tampak ketika anak mulai mempelajari mata
pelajaran dasar seperti menulis, membaca, berhitung dan mengeja.
Berikut
adalah karakteristik anak yang anak yang mengalami
kesulitan belajar :
1) Ketidakberfungsian Minimal Otak (gangguan saraf)
Ketidakberfungsian ini bisa
termanifestasi dalam berbagai kombinasi kesulitan seperti : persepsi,
konseptualisasi, bahasa, memori, pengendalian.perhatian, impulse (dorongan)
atau fungsi motorik.
2) Anak yang
mengalami kesulitan membaca (dyslexia)
Simtom umum yang sering
ditampilkan anak dyslexia ialah : Kecendrungan membaca kata, bergerak mundur seperti ; “dia” dibaca
“aid” , Kesulitan auditif, Dalam membaca keras tidak mampu mengkonversikan
symbol visual kedalam symbol auditif yang sejalan dengan bunyi kata secara
benar. Kata yang di ucapkan tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya.
3)
Anak yang mengalami kesulitan berbahasa (Aphasia)
Aphasia adalah suatu kondisi dimana anak gagal
menguasai ucapan-ucapan bahasa yang bermakna pada usia sekitar 3 tahunan.
Ketidakcakapan bicara ini tidak dapat dijelaskan karena factor ketulian,
keterbelakangan mental serta gangguan organ bicara.
4)
Anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia)
Ciri-cirinya
: Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v
dengan u, 6 dengan 9, dll.
5)
Anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkula)
Kesulitan memahami simbol
matematika seperti : Kesulitan dalam membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =, Sering salah membilang dengan urut, Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan
71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya, Sulit
membedakan bangun-bangun geometri.
B. Model Layanan Pendidikan Anak
Berkebutuhan
Khusus
ABK memiliki tingkat kekhususan
yang amat beragam, baik dari segi jenis, sifat, kondisi maupun
kebutuhannya, oleh karena itu, layanan pendidikannnya tidak dapat dibuat
tunggal/seragam melainkan menyesuaiakan diri dengan tingkat keberagaman
karakteristik dan kebutuhan anak. Model layanan pendidikan bagi ABK diantaranya adalah:
1. Model Segregasi
Model
segregasi merupakan model layanan pendidikan yang sudah lama dikenal dan
diterapkan pada anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Model ini mencoba
memberikan layanan pendidikan secara khusus dan terpisah dari kelompok anak
normal maupun ABK lainnya.
Kelebihan
dari model ini adalah anak merasa senasib, sehingga dapat menghilangkan rasa
minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan semangat menyongsong
kehidupan di hari-hari mendatang, anak lebih mudah beradaptasi dengan
temannya yang sama-sama menyandang ketunaan, anak termotivasi dan
bersaing secara sehat dengan sesama temannya yang senasib di sekolahnya.
Kekurangan
adalah anak terpisah dari lingkungan anak lainnya sehingga anak sulit
bergaul dan menjalin komunikasi dengan mereka yang normal, anak merasa
terpasung dan dibatasi pergaulanya dengan anak yang cacat saja sehingga pada
giliranya, dapat menghambat perkembangan sosialisasinya di masyarakat.
2. Model Kelas Khusus
Sesuai
dengan namanya, keberadaan kelas khusus tidak berdiri sendiri seperti halnya
sekolah khusus (SLB), melainkan berada di sekolah umum/regular. Pada kelas
khusus biasanya terdapat beberapa siswa yang memiliki derajat kekhususan
yang relatif sama.
Kelebihannya adalah anak lebih mendapatkan
perlakuan dan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhannya karena anak dikelompokkan relative homogen, potensi anak dapat
lebih cepat berkembang karena pembelajarannya menggunakan pendekatan
individual atau kelompok kecil, secara sosial.
Kekurangan
adalah ABK kadang- masih mendapatkan stigma negative dari sebagian
temannya sehingga dapat mengganggu/ menghambat perkembangan belajarnya,
ABK dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk bergaul dengan mereka
yang bukan kategori ABK, dan sebahagian orangtua kadang-kadang tidak
terima bila anaknya dicap sebagai ABK apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama
ABK dalam kelas khusus.
3. Model Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB)
SDLB
adalah sekolah yang diperuntukkan dan untuk menampung anak-anak berkebutuhan
khusus usia sekolah dasar dari berbagai jenis dan tingkat kekhususan yang
dialaminya. Dalam
SDLB ada ABK kategori tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan sebagainya.
Mereka belajar di kelas masing-masing yang disesuaikan dengan jenis
kekhususannya, akan tetapi mereka bersosialisasi secara bersama-sama dalam satu
naungan sekolah. Dilihat dari keragaman anak di SDLB dengan berbagai jenis
kekhususannya tersebut, maka SDLB sebenarnya termasuk sekolah terpadu,
akan tetapi terpadu secara fisik bukan terpadu secara akademik. (Dwidjo
Sumarto, 1988).
Kelebihan
Model ini adalah anak merasa berada dalam dunia yang lebih luas, tidak hanya
terbatas pada jenis kelainan tertentu saja, dalam perkembangan sosial
anak lebih leluasa mengadakan interaksi dan komunikasi dengan sesama teman yang
sangat bervariasi jenis ketunaannya, dan secara psikologis, anak dapat lebih
mudah meningkatkan rasa percaya diri, menebalkan semangat, dan motivasi
berprestasi.
Kekurangan
: anak merasakan terbatas dalam mengembangkan interaksi dan komunikasi dengan
mereka yang berkategori normal, karena anak-anak dikelompokkan berdasarkan
jenis ketunaan tertentu, sehingga kadang-kadang timbul sikap permusuhan
diantara kelompok mereka.
4. Model Guru Kunjung
Model
guru kunjung dapat diterapkan untuk melayani pendidikan ABK yang ada atau
bermukim di daerah terpencil, daerah perairan, daerah kepulauan atau
tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh layanan pendidikan khusus yang telah
ada, Di tempat-tempat tersebut dibentuk sanggar/kelompok-kelompok belajar
tempat anak-anak memperoleh layanan pendidikan. Guru kunjung secara periodik
mengunjungi kelompok belajar yang menjadi binaannya. Kelompok belajar ini
dapat dikatakan sebagai kelas jauh yang menginduk kepada SLB,SDLB, SD
terdekat. Guru kunjung tersebut biasanya diambilkan dari guru khusus yang
mengajar di sekolah induknya atas penunjukan dari dinas pendidikan setempat.
Kebaikan
model ini adalah anak dapat lebih mendapat layanan pendidikan dengan
tidak perlu datang ke jauh karena sudah ada petugas/guru khusus yang
mendatanginya, anak-anak bisa saling berkomunikasi dengan sesama ABK dari
daerah/tempat yang lain yang saling berjauhan sehingga dapat memicu
semangat belajar, anak-anak memperoleh pengetahuan dan keterampilan
praktis dan pragmatis yang mereka butuhkan sehari-hari.
Kelemahannya
adalah layanan pendidikan dengan guru kunjung dalam banyak hal masih
sulit diterapkan karena memerlukan jaringan kerjasama berbagai
pihak, ABK di daerah terpencil, pedalaman, atau di tempat terasing lain
keberadaannya terpencar-pencar sehingga menyulitkan dalam koordinasi dalam
pelaksanaan pembelajaran, masalah
transportasi adalah persoalan klasik yang menjadi kendala orangtua untuk
mengirimkan anaknya belajar ke sanggar belajar.
5. Pendidikan Inklusi (Inclusive
Education)
Kata inklusi bermakna terbuka.
Pendidikan Inklusi berarti pendidikan yang bersifat terbuka bagi siapa saja yang mau masuk
sekolah baik dari kalangan anak normal maupun ABK. Demikian pula lingkungan
pendidikan, termasuk ruangan kelas, toilet, halaman bermain, laboratorium, dan
lain-lain harus dimodifikasi dan dapat diakses oleh semua anak, termasuk
anak-anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusi lazimnya sudah
diterapkan di negara-negara maju, seperti Norwegia, Swedia, Denmark, USA, dan
sebagian Australia. Di Indonesia model pendidikan inklusi sudah mulai banyak
dirintis di beberapa sekolah tertentu, namun belum dapat sepenuhnya
dilaksanakan. Dalam kasus-kasus tertentu nama sekolah inklusi telah
menjadi trade mark , tetapi dalam prakteknya tidak lebih dari sekedar sekolah
terpadu biasa. Oleh karena itu di masa-masa yang akan datang sekolah inklusi di
Indonesia bukan hanya sekedar nama saja tetapi diharapkan menjadi sebuah
sekolah inklusi beneran seperti yang telah diselenggarakan di beberapa negara
maju di Eropa, Amerika dan Australia. Ini tentu saja menjadi tugas dan komitmen
bersama antara pemerintah, sekolah dan masyarakat.
Kelebihan model ini adalah anak akan memperoleh keadilan layanan
pendidikan, tidak dibedakan dari anak normal sehingga secara tidak
langsung dapat membangkitkan motivasi dan gairah belajar di sekolah, harkat
dan martabat dalam memperoleh layanan pendidikan tanpa membedakan antara yang
cacat dan yang normal, dan anak dapat
bergaul dan berinteraksi secara sehat dengan teman-temannya yang normal,
sehingga meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi berprestasi dalam
belajar.
Kekurangan adalah untuk
dapat disebut sebagai sekolah inklusi dibutuhkan sarana dan prasarana yang
dapat mengakses kebutuhan individual anak yang tidak gampang dipenuhi oleh
sekolah yang telah menyatakan diri sebagai sekolah inklusi. Untuk dapat disebut
sebagai sekolah inklusi yang sebenarnya juga dibutuhkan tenaga pendidik dan
tenaga non pendidik (seperti dokter, psikolog, konselor, dan sebagainya) yang
tidak serta-merta dapat dipenuhi oleh sekolah yang memproklamirkan diri sebagai
sekolah inklusi.
PENUTUP
A.
Analisis
Setiap orang tua pasti mendambakan
anaknya sehat, cerdas, berhasil dalam
pendidikannya,
dan sukses dalam hidupnya. Orang tua merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut menjadi kenyataan.
Orang tua mana yang tidak bangga ketika melihat anak-anaknya
sukses. Tidak jarang orang tua mengungkapkan perasaan bangga tersebut dengan
menceritakan kesuksesan anaknya kepada sanak keluarga, tetangga dekat maupun
jauh, teman sejawat, dan bahkan kepada siapapun yang menjadi lawan bicaranya.
Namun ketika harapan dan mimpi indah tersebut tidak menjadi kenyataan, maka
dunia ini terasa hancur, mimpi indah mendadak menjadi mimpi buruk yang selalu
membayangi sepanjang hidupnya. Muncul rasa kecewa yang mendalam bercampur
sedih, bingung, marah, putus asa, tidak
bergairah, dan tidak berdaya sampai mati langkah. Bahkan cinta kasih dan sayang
kepada sang anak berubah menjadi kebencian, muncul rasa malu, tidak percaya
diri, berdosa, saling menyalahkan antara suami istri, muncul pertengkaran yang
hebat, sampai seringkali terjadi perceraian, bahkan shok dan stres berat pun
menghampirinya.
Tidak ayal lagi sang anak yang tadinya
menjadi harapan masa depan yang cemerlang dan investasi yang sangat berharga
akhirnya malahan menjadi korban. Anak diterlantarkan, dibiarkan, diabaikan, ditolak kehadirannya,
tidak dibimbing, tidak didorong, tidak diberi semangat
untuk mencapai perkembangan yang seharusnya optimal. Kondisi semacam ini sangat berpengaruh
terhadap perkembangan anak. Besar kemungkinan anak akan mengalami gangguan psikologis,
psiko-sosial, dan perilaku serta emosi. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan
bagi pengembangan potensi anak. Lebih-lebih kalau hal ini terjadi pada seorang
anak yang dinyatakan sebagai “anak berkebutuhan khusus” oleh seorang
psikolog. Padahal, pada
dasarnya anak-anak
berkebutuhan khusus sekalipun tetap memiliki potensi yang bisa dikembangkan secara optimal. Seandainya secara
merata diseluruh mata pelajaran prestasinya di bawah rata-rata, namun potensi
yang dimilikinya masih bisa dikembangkan secara optimal kalau diberi layanan
pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan, potensi, dan kebutuhannya. Bahkan
prestasi akademiknya sangat rendah sekalipun, namun masih bisa dilihat pada potensi lain yang bisa
dikembangkan secara optimal, misalnya bakat dalam seni, olah raga, dan keterampilan
lainnya. Oleh sebab itu perlu adanya pelayanan pendidikan yang tepat dan akurat agar potensi yang dimiliki anak berkebutuhan khusus
lebih terencana dan terarah.
B.
Kesimpulan
1.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak
yang memiliki perbedaan dengan anak-anak secara umum atau rata-rata anak
seusianya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau
bahkan lebih dalam dirinya.
2.
Anak berkebutuhan khusus dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
a)
Anak
dengan Gangguan
Pendengaran
( Tuna Rungu )
b)
Anak
dengan gangguan penglihatan (Tunanetra)
c) Anak Retardasi Mental ( Tuna Grahita )
d) Anak dengan Kelainan Fisik ( Tunadaksa)
e) Anak
Berkelainan Perilaku (Tunalaras)
f) Anak Berbakat
(Gifted)
g) Anak berkesulitan belajar (learning disabilities)
3. Macam-macam layanan pendidikan bagi ABK diantaranya adalah:
a) Model Segregasi
b) Model Kelas Khusus
c) Model Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB)
d) Model Guru Kunjung
e) Pendidikan Inklusi (Inclusive
Education)
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, T.S. 2005. Psikologi
Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar
Psikopedagogik Anak berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.
Suharlina, Yulia. 2010. Seri Bahan dan Media Pembelajaran Kelompok
Bermain Bagi Calon Pelatih PAUD. Yogyakarta: Pdf Book.
http://ghozaliu.blogspot.com/2013/01/makalah-anak-berkebutuhan-khusus-abk.html
[1] Yulia Suharlina. Buku pdf 2010. Seri
Bahan dan Media Pembelajaran Kelompok
Bermain Bagi Calon Pelatih
PAUD. Yogyakarta. Hlm. 6
[2] Sutjihati Somantri. 2005. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung.
Hlm. 65
[3] Ibid. Hlm. 94
[4]
Ibid. Halm. 103
[5] Mohammad
Efendi. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak berkelainan. Malang. Halm.
114
[6] Ibid.
Halm. 143
Post a Comment for "PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS"