Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HAK ANAK DAN PEMENUHAN HAK ANAK MENURUT PANDANGAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dewasa ini persoalan anak kian kompleks. Segmentasi masalah anak juga beragam; mulai anak korban kekerasan, anak yang diperdagangkan, anak yang dipekerjakan, dieksploitasi, sampai anak yang harus menghadapi nasib perih karena mereka menghadapi seorang guru yang galak dan keras kepala di tempat belajar. Ironisnya, sampai saat ini empati semua komponen masyarakat untuk ikut serta menangani masalah anak dapat dihitung jari. Peran ormas-keagamaan juga belum optimal, atau bahkan belum menjadi prioritas, tenggelam dibandingkan respon mereka dengan isu-isu sosial-politik lainnya.

Berdasarkan pengertian di atas, bentuk dan jenis kekerasan agama banyak macam dan ragamnya. Salah satu fenomena yang cukup serius dewasa ini adalah kekerasan pada anak. Tidak sedikit anak dipukul orang tua, dengan motivasi agar mereka menjadi taat; karena taat dipandang sebagai indikator kunci dari anak soleh. Di lembaga pendidikan juga tak luput dari fakta ini. Lembaga pendidikan sebagai wadah fasilitasi dan pengembangan dan multi potensi, terkadang justru keluar dari frame sesungguhnya. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa guru masih perlu belajar lebih banyak tentang psikologi anak dan manajemen pengelolaan kelas. Dalam beberapa kasus, anak dipandang sebagai pihak yang pasif, sementara guru sebagai pemegang otoritas segalanya. Ketika anak kritis terhadap apa yang disampaikan guru dipandang sebagai anak yang bandel, tidak taat aturan bahkan dikategorikan sebagai bukan anak saleh.

Sekedar sebagai refleksi, kita sangat mudah melihat anak-anak yang mendapat tugas dari sebagian yayasan/panitia pembangunan untuk mencari dana di sejumlah titik strategis. Anak di suruh meminta-minta di pinggir jalan, bis-bis kota dan kapal serta tempat-tempat umum. Ironisnya tidak sedikit yayasan menggunakan jasa anak di bawah umur. Tentu hal ini sangat naïf bagi institusi berlabel agama. Pada sebagian kasus, yang terjadi adalah eksploitasi anak secara terselubung. Atas nama agama menjual anak-anak ke masyarakat untuk menggalang dana. Tentu langkah ini menjadi keprihatinan bersama.

Ajaran-ajaran agama tentang kekerasan baik itu berasal dari Alqur'an, seperti kebolehan orang tua memukul istri bila ia mangkir dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35), maupun Sunnah seperti hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan salat ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul (bila tidak salat) ketika berumur sepuluh, adalah sedikit contoh dari ajaran Islam tentang perlunya kekerasan. Seorang tekstualis akan menangkap kebolehan memukulnya ketimbang, katakanlah, esensi lebih dalam tentang bagaimana mendidik atau melindungi anak. Model pemahaman keagamaan yang tekstualis bisa mendorong orang untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Namun itu tidak perlu disalahpahami bahwa agama menjadi sumber kekerasan. Semuanya tergantung bagaimana agama dipahami. Model pemahaman keagamaan yang universal jelas akan menghasilkan tafsir agama yang ramah anak dan tidak mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini pada dasarnya penulis mengidentifikasi masalah  yang bersumber dari latar belakang masalah. Adapun rumusan masalahnya berupa:
1.    Bagaimanakah pandangan Islam terhadap hak Anak?
2.    Bagaimana bentuk-bentuk hak Anak menurut hukum Islam?
3.    Bagaimana cara memperlakukan anak menurut hukum islam?

C.     Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir semester yang diberikan oleh Dosen kepada Mahasiswa semester I. Prodi Tarbiyah/PAI pada Mata Kuliah Pendidikan Kwarganegaraan serta untuk menjawab sejumlah rumusan masalah. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui pandangan Islam terhadap hak Anak!
2.    Untuk mengetahui/mendalami bentuk-bentuk hak Anak menurut hukum Islam!
3.    Untuk memperoleh cara memperlakukan anak menurut hokum islam!

D.    Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini diharapkan terdapat nilai kegunaan bagi pembaca. Adapun manfaat penulisan makalah ini terpilih manfaat prektis dan teoritis.
1.      Manfaat Praktis
Manfaat praktis pada dasarnya adalah manfaat riil dengan ditulisnya makalah ini bagi public sesuai dengan kinerja masing-masing.
a.    Bagi Pemerintah agar memberikan perlindungan yang semestinya terhadap hak segenap anak bangsa Indonesia.
b.      Bagi Orang Tua agar memberikan apa yang sudah menjadi hak seorang anak.
c.       Bagi Masyarakat agar berkoordinasi dengan orang tua untuk memenuhi hak anak,

2.      Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis pada dasarnya adalah manfaat secara konseptual/keilmuan dengan ditulisnya makalah ini bagi akademisi untuk pengembangan keilmuan. Khususnya ilmu sosial.


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pandangan Islam terhadap hak Anak
Dalam pandangan Islam, bahwa hidup adalah pemberian Allah, sebagaimana dikatakan dalam firmannya:

Dan sesungguhnya benar-benar Kamilah yang menghidupkan dan mematikan dan Kamilah (pulalah) yang mewarisi” (QS. Al-Hijr:23).

Ini berarti, bahwa hak hidup, keberlangsungan dan hak perkembangan melekat pada setiap diri anak, dan mutlak adanya sebagai dasar untuk memberikan pemenuhan dan perlindungan atas kehidupan mereka.
1.    Anak sebagai perhiasan dunia.
Anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia yang akan menyenangkan hati orang tua. Sebagaimana firmanNya:
"Harta benda dan anak-anak itu sebagai perhiasan hidup di dunia" (QS. Al Kahfi: 46)
Dan firmanNya:
"Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami (agar) istri kami dan anak cucu kami sebagai penyejuk pandangan mata". (QS Al-Furqon: 74)

Orangtua dapat merasakan kepuasan dan kesenangan atas kehadiran anak, bila pada dirinya masih eksis fitrah insaninya. Keberadaan fitrah inisani merupakan ‘modal dasar’ terjaminnya perlindungan hak anak oleh keluarga. Eksisnya rasa sayang orangtua kepada anak dan keberadaan anak yang membawa kesenangan bagi orang tua akan membuat orang tua rela berkorban apa saja untuk memenuhi semua hak anak.

2.    Anak sebagai jaminan bagi orangtua di hari kiamat.
Orangtua yang telah bersusah payah membesarkan, memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan sabar akan mendapat ganjaran yang sangat besar dari Allah SWT, yakni surga. Sebagaimana riwayat dari Auf bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

 "Barangsiapa memiliki tiga orang anak perempuan yang dinafkahinya dengan baik sampai mereka menikah atau meninggal dunia, maka anak-anak itu menjadi tabir baginya dari neraka." (HR Al-Baihaqi)

Juga riwayat dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
"Ada seorang hamba yang ditinggikan derajatnya. Lalu ia bertanya: Wahai Rabbku, mengapa derajat ini diberikan kepadaku? Allah berfirman: Sebab permohonan ampun anakmu untukmu sesudah meninggalmu" (HR Ahmad, Ibnu majah, dan Al-Baihaqi)

3.      Anak sebagai aset masa depan umat.
Islam mensyariatkan pernikahan bagi umatnya. Bahkan mencela orang-orang yang tidak mau menikah (tabattul). Islam juga menganjurkan agar laki-laki memilih calon istri dari kalangan yang wanita yang penyayang, subur, dan beragama. Sebab salah satu tujuan pernikahan adalah lahirnya anak-anak sebagai pewaris orangtuanya, baik pewaris harta maupun pewaris tanggung jawab dalam mengemban risalah Islam. Sebagaimana riwayat dari Anas ra, ia berkata:

"Rasulullah saw menganjurkan para pemuda untuk kawin dan melarang keras untuk tabattul. Dan beliau bersabda:’Kawinlah kalian dengan wanita-wanita yang penyayang dan subur. Sesungguhnya dengan kalian saya ingin memperbanyak ummat di antara para nabi pada hari kiamat nanti." (HR Imam Ahmad dan Abu Hakim)

"Perempuan itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah perempuan yang beragama, niscaya kamu akan beruntung"(HR Bukhari)

Islam juga mensyariatkan untuk memperhatikan kualitas generasi penerusnya. Sebagaimana QS An-Nissa’ ayat 9:

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka…"

Dari hadist dan ayat di atas dapat dipahami bahwa ada tuntutan bagi kaum muslimin untuk menjamin kelestarian generasi masa depan dan mewujudkan generasi yang berkualitas baik. Generasi tersebut adalah generasi yang diridhoi oleh Allah SWT dan mampu memimpin manusia dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw.

4.    Pihak-pihak Yang Bertanggung Jawab atas Pemenuhan Hak Anak
Orangtua dan anggota keluarga yang lain adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak Anak. Negara dengan membuat kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang membuat keluarga mampu memenuhi hak-hak anak dalam keluarga. Masyarakat dengan ikut menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak anak, bukan malah menjadi pihak yang merampas hak-hak anak.

B.            Bentuk- bentuk hak anak dalam Islam
1. Hak memperoleh kehidup ketika di dalam rahim dan setelah lahir
Islam  benar-benar memberikan hak hidup bagi  setiap anak dengan jaminan yang pasti.  Sejarah membuktikan, saat Islam datang maka kebiasaan orang  Arab yang membunuh anak perempuan telah di hapus dengan turunnya wahyu Allah Swt berfirman:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.“(Q.S. Al-Israa: 31).

Rasulullah Saw bersabda: 
“Tidaklah seseorang diantara kamu yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan kemudian mendidik mereka dengan sebaik-baiknya kecuali ia akan masuk surga” (HR.At-Tirmidzy dari Abu Said Al-Hudri).

Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa mempunyai dua anak perempuan dan dia asuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga.” (HR Al Bukhari).

Terhadap anak hasil perzinahan, Islam telah menghukum ibunya bukan anaknya, ini terdapat dalam kisah wanita Al-Ghamidiyah, yang datang pada Nabi bahwa dirinya hamil dari hasil zina. Nabi berkata “pulanglah sampai engkau melahirkan“. Ketika ia telah melahirkan, ia datang lagi kepada Nabi dengan membawa bayinya. Nabi berkata” Pergilah, kemudian susuilah anakmu itu sampai engkau menyapihnya“. Setelah selesai disapih, ia datang lagi kepada Nabi bersama bayi, maka Nabi menyerahkan bayi itu kepada laki-laki muslim. Setelah itu wanita tersebut dirajam (HR. Muslim)
Firman Allah dalam QS Al-Isra’ ayat 31:

" Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberikan rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.“

Demikian juga untuk menjaga keselamatan janin, Islam telah mensyari’atkan agar pelaksanaan hukuman (had) terhadap wanita hamil ditangguhkan sampai ia melahirkan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

"Apabila ada seorang di antara wanita membunuh secara sengaja, ia tidak boleh dijatuhi hukuman mati sampai ia melahirkan anaknya, jika ia memang sedang hamil. Dan bilamana seorang wanita berzina, ia tidak boleh dirajam sampai ia melahirkan anaknya jika ia sedang hamil dan sampai ia selesai merawatnya." (HR Ibnu Majah).

Demi keselamatan janin Islam juga telah memberi keringanan bagi wanita hamil dalam menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ia diperkenankan berbuka apabila ia tidak mampu atau apabila puasanya mengganggu pertumbuhan janin. Ia dapat mengganti puasanya di hari lain.

2. Hak mendapatkan nama yang baik.
Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad saw: "Ya Rasulullah, apakah hak anakkku dariku?" Nabi menjawab: "Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan ia di tampat yang baik."
"Baguskanlah namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti." (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Nama anak adalah penting, karena nama dapat menunjukkan identitas keluarga, bangsa, bahkan aqidah. Ngatinem sudah pasti orang Jawa, Simorangkir jelas dari keluarga Batak, Cecep tentu dari keluarga Sunda dan Alhabsyi menunjukkan keluarga Arab. Islam menganjurkan agar orangtua memberikan nama anak yang menunjukkan identitas Islam, suatu identitas yang melintasi batas-batas rasial, geografis, etnis, dan kekerabatan. Selain itu nama juga akan berpengaruh pada konsep diri seseorang.

3. Hak penyusuan dan pengasuhan (hadlonah)
Firman Allah dalam QS Al Baqoroh: 233

"Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS. Al Baqoroh: 233)

Penelitian medis dan psikologis menyatakan bahwa masa dua tahun pertama sangat penting bagi pertumbuhan anak agar tumbuh sehat secara fisik dan psikis. Selama masa penyusuan anak mendapatkan dua hal yang sangat berarti bagi pertumbuhan fisik dan nalurinya. Yang Pertama: anak mendapatkan makanan berkualitas prima yang tiada bandingannya. ASI mengandung semua zat gizi yang diperlukan anak untuk pertumbuhannya, sekaligus mengandung antibodi yang membuat anak tahan terhadap serangan penyakit. Yang Kedua : anak mendapatkan dekapan kehangatan, kasih sayang dan ketentraman yang kelak akan mempengaruhi suasana kejiwaannya di masa mendatang. Perasaan mesra, hangat, dan penuh cinta kasih yang dialami anak ketika menyusu pada ibunya akan menumbuhkan rasa kasih sayang yang tinggi kepada ibunya. Islam pun telah menetapkkan bahwa orang yang lebih berhak terhadap pengasuhan ini adalah orang yang paling dekat kekerabatannya dan paling terampil (ahli) dalam pengasuhan. Hadist yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari kakeknya bahwa Rasulullah saw pernah ditemui seorang wanita, ia berkata:

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku dulu dikandung dalam perutku, susuku sebagai pemberinya minum dan pangkuanku menjadi buaiannya. Sementara ayahnya telah menceraikanku, tetapi ia hendak mengambilnya dariku." Kemudian Rasulullah bersabda: "Engkau lebih berhak kepadanya selama engkau belum menikah"

Islam menetapkan bahwa pihak wanita (ibu) lebih utama dalam pengasuhan Fuqoha menetapkan urutan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan adalah:

-       Ibu, nenek dari pihak ibu dan seterusnya jalur ke atas (jika masih hidup). Dalam hal ini didahulukan yang paling dekat hubungannya dengan anak.
-       Ayah, nenek dari ayah dan seterusnya jalur ke atas (jika masih hidup), kakek, ibunya kakek dan seterusnya jalur ke atas, kakeknya ayah dan para ibunya.
-       Saudara perempuan, diutamakan yang seibu seayah, baru seayah, kemudian anak-anak mereka.
-       Saudara laki-laki, diutamakan yang seibu seayah, baru seayah, kemudian anak-anak mereka.
-       Saudara perempuan ibu (kholah)
-       Saudara perempuan ayah (‘ammah)
-       Saudara laki-laki ayah (paman) yang seibu seayah, dan seayah saja.
-       Saudara perempuan nenek dari ibu
-       Saudara perempuan nenek dari ayah
-       Saudara perempuan kakek dari ayah
-       Apabila semua pihak dari kalangan ini tidak mampu, maka negara berkewajiban untuk memberikan pengasuhan anak ini ke pihak lainnya yang mampu dan dapat di percaya.

4. Hak mendapatkan kasih sayang
Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk menyangi keluarga, termasuk anak di dalamnya. Ini berarti Beliau saw mengajarkan kepada kita untuk memenuhi hak anak terhadap kasih sayang. Sabda Rasulullah saw: "Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling penyayang kepada keluarganya."

Rasulullah mengajarkan untuk mengungkapkan kasih sayang tidak hanya secara verbal, tetapi juga dengan perbuatan. Pada suatu hari Umar menemukan beliau saw merangkak di atas tanah, sementara dua orang anak kecil berada di atas punggungnya. Umar berkata: "Hai anak, alangkah baiknya rupa tungganganmu itu." Yang ditunggangi menjawab: "Alangkah baiknya rupa para penunggangnya". Betapa indah susasana penuh kasih sayang antara Rasul saw dengan cucu-cucu beliau.

5. Hak mendapatkan perlindungan dan nafkah dalam keluarga
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 233 dan dalam surah Ath - Thalaq ayat 6:
"… Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dangan cara yang ma’ruf…" (QS.Al-Baqarah : 233)

"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…" (QS. Ath-Thalaq : 6)

Sebagai pemimpin dalam keluarga, seorang ayah tentu bertanggungjawab atas keselamatan anggota keluarganya, termasuk anaknya. Ia akan melindungi anaknya dari hal-hal yang membahayakan anaknya baik fisiknya maupun psikisnya.

Demikian juga ia berkewajiban memberi nafkah berupa pangan, sandang, dan tempat tinggal kepada anaknya. Apabila kepala keluarga tidak dapat mencukupi nafkah keluarganya, atau ayah telah meninggal dunia, maka wali dari anak (diantaranya paman dari ayah, saudara laki-laki, dan kakek) diberi kewajiban mencukupi nafkah keluarga tersebut. Apabila jalur kerabat tidak ada yang bisa mencukupi nafkah anak, maka negaralah yang berkewajiban memberi nafkah kepada anak. Negara menyalurkan zakat atau sumber keuangan lain yang hak kepada keluarga yang tidak mampu. Bagaimanapun keadaannya, tidak pernah seorang anak harus menafkahi dirinya sendiri.

6. Hak pendidikan dalam keluarga
Firman Allah dalam surah QS At-Tahrim ayat 6:
"Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…"
Rasulullah juga mengajarkan betapa besarnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak. Sabdanya saw:"Tidaklah seorang anak yang lahir itu kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi."(HR Muslim).

Anak pertama kali mendapatkan hak pendidikannya di keluarga, sebelum ia mendapatkan pendidikan di sekolah. Mendidik anak adalah tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah, sehingga diperlukan pasangan yang seaqidah, dan sepemahaman dalam pendidikan anak. Jika tidak demikian tentunya sulit mencapai tujuan pendidikan anak dalam keluarga.

Anak pertama kali mendapatkan pengajaran nilai-nilai tauhid dari kedua orang tuanya, demikian juga mengenai ajaran-ajaran Islam yang lain. Anak mendapatkan pendidikan yang lebih banyak berupa contoh (teladan) dari kedua orang tuanya, di samping pendidikan dalam bentuk lisan, pembiasaan dan pemberian sanksi.

7. Hak mendapatkan kebutuhan pokok sebagai warga negara.
Sebagai warga negara, anak juga mendapatkan haknya akan kebutuhan pokok yang disediakan secara massal oleh negara kepada semua warga negara. Kebutuhan pokok yang disediakan secara massal oleh negara meliputi: pendidikan di sekolah, pelayanan kesehatan, dan keamanan. Pelayanan massal ini merupakan pelaksanaan kewajiban negara terhadap penguasa kepada rakyatnya, seperti sabda Rasulullah saw:

"Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya." (HR Ahmad, Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud, dari Ibnu Umar).

Apabila hak-hak anak seperti yang disebutkan di atas dipenuhi maka anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berkualitas: menjadi orang bertaqwa yang mampu mengendalikan hawa nafsunya sesuai perintah dan larangan Allah serta mampu mengelola kehidupan dunia dengan ilmu dan ketrampilannya. Kebutuhan fisiknya terpenuhi: kebutuhan gizinya terpenuhi, kebutuhan sandang dan perumahan yang memenuhi syarat kesehatan terpenuhi, dan apabila ia sakit tidak ada hambatan baginya untuk mendapatkan pengobatan.

Demikian pula ia tumbuh dalam suasana penuh kasih sayang, tentram dan aman. Dalam kondisi fisik dan psikis yang baik ia bisa melewati proses pendidikan sesuai fase perkembangannya di dalam keluarga, juga pendidikannya di sekolah secara optimal.

Dengan demikian ia bisa menguasai dengan baik tsaqofah Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan yang diajarkan di sekolah untuk bekal kehidupannya kemudian hari.

C.            Cara memperlakukan anak menurut hukum islam

1.    Memperlihatkan rasa senang saat kelahiran anak
Ketika seorang anak dilahirkan sudah sepantasnya seorang ayah dan ibu menunjukkan rasa senangnya. Bagaimanapun keadaan anak itu, baik laki-laki maupun perempuan. Terkadang sebagian orang tua memiliki rasa benci jika yang dilahirkan adalah perempuan. Perlu kita ketahui ini, rasa kebencian itu merupakan sifat jahiliah yang masih dimiliki oleh sebagian kaum muslimin. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan di dalam Al-Qur’an tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang Quraisy di masa Jahiliah. Mereka membunuh bayi-bayi perempuan mereka yang baru dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: 

“Dan apabila seseorang di antara mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, maka hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah dia akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah! Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An-Nahl : 58-59)

Terkadang Allah menguji sang Ayah dan sang Ibu dengan anak yang cacat. Mereka diuji dengan kebutaan, kebisuan, ketulian atau cacat yang lainnya pada sang Anak. Orang yang paham bahwa itu adalah ujian, maka dia akan berlapang dada untuk menerimanya dan tetap merasa senang. Sebaliknya orang yang tidak paham, maka dia tidak akan senang, tidak rida bahkan terkadang bisa sampai mengarah ke perceraian atau pembunuhan sang Anak.

2.    Memberi nama dengan nama yang baik
Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik.  Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: “Ya Rasulullah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab: “Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik”.
“Baguskan namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hiban).

Nama itulah yang mewakili diri anak untuk kehidupannya kelak. Oleh karena itu, janganlah salah dalam memilihkan nama. Islam telah mengajarkan agar memilih nama-nama islami dan menjauhi nama-nama yang mengandung unsur penyerupaan dengan agama lain atau penyerupaan dengan pelaku-pelaku kemaksiatan. Sudah sepantasnya seorang muslim bangga dengan nama islaminya. Pemberian nama oleh orangtua kepada anaknya merupakan do,a dan harapan yang ingin terwujud.  Dengan demikian sangat baik bila memberikan nama-nama, seperti: ‘Abdullah, ‘Abdurrahman, ‘Abdurrahim dan sejenisnya, nama-nama para nabi, nama-nama sahabat yang terkenal dll. Begitu pula untuk anak perempuan, banyak sekali nama wanita-wanita solehah, seperti: Fatimah, Khadijah, Aisyah dll.

3.    Memperlakuannya dengan adil
Orang tua wajib berlaku adil terhadap  semua anaknya. Dalilnya adalah sebagai berikut:

Suatu hari An-Nu’man bin Basyir berkata di atas mimbar, “Ayahku telah memberikanku hadiah.” Kemudian ‘Amrah binti Rahawah (Ibunya) berkata, “Saya tidak rida sampai engkau meminta Rasulullah untuk menjadi saksi.” Kemudian Ayah An-Nu’man pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata kepadanya, “Saya telah memberi hadiah kepada anakku dari istriku yang bernama ‘Amrah binti Rawahah. Dia menyuruhku untuk memintamu, Ya Rasulullah, sebagai saksi pemberian ini.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau memberikan hadiah kepada semua anakmu seperti itu juga?” Ayahnya pun berkata, “Tidak.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian kepada Allah! Berbuat adillah terhadap semua anakmu.” Kemudian ayahnya pun kembali dan mengambil kembali hadiahnya.

4.    Memberikan kasih sayang
Anak juga termasuk keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam. Dia adalah manusia yang memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak diperlakukan seperti hewan yang hina. Dia harus dihormati dan dihargai. Oleh karena itu, tidak dibenarkan untuk memberikan julukan-julukan atau panggilan-panggilan jelek kepadanya, seperti ucapan ‘anjing’, ‘babi’, ‘goblok’ dan sejenisnya.Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah memuliakan anak keturunan Adam, memberikan tunggangan kepada mereka di darat dan di laut, memberi rezki kepada mereka dari yang baik-baik dan mengutamakan mereka dari banyak makhluk  yang telah kami ciptakan dengan suatu keutamaan.” (QS Al-sra’ : 70)

5.    Memberikan haknya untuk bermain
Anak pun  punya hak untuk bermain. Orang tua sudah sepantasnya memberikan waktu-waktu bermain untuk anaknya, baik di pagi, siang ataupun sore hari. Ketika waktu maghrib datang, orang tua diperintahkan untuk “memegang” anaknya dengan tidak membiarkan anaknya bermain di luar rumah sampai datang waktu ‘isya’.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Jika malam atau awal malam datang maka ‘peganglah’ anak-anak kalian. Sesungguhnya setan-setan menyebar pada saat itu. Jika waktu isya’ telah masuk maka biarkanlah mereka.” Setelah waktu isya’ datang tidak sepantasnya anak-anak bermain, karena waktu itu adalah waktu tidur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bersenda gurau pada saat itu.

Orang tua juga harus memperhatikan jenis permainan anaknya, jangan sampai dia bermain dengan permainan yang mengandung unsur dosa, seperti: adu kelereng dan kartu, memanah ayam atau sejenisnya dll. Orang tua sebaiknya memilihkan permainan yang bermanfaat untuk diri anaknya kelak dan mengandung unsur pembelajaran. Orang tua juga harus memperhatikan dengan siapa anaknya bergaul dan bermain.

6.    Memperlakukan anak yatim dengan baik
Islam tidak memperbolehkan kaum muslimin mengabaikan keberadaan anak yatim. Ia adalah aset umat yang harus diselamatkan dan dipelihara agar tidak menderita. Allah telah menyiapkan kemuliaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat bagi orang yang merawat anak-anak malang ini. Rasulullah Saw. pernah bersabda,
 “Aku dan orang-orang yang menanggung anak yatim, berada di surga seperti ini (lalu beliau mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, seraya memberi jarak keduanya).” (H.R. Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Rasulullah SAW melaksanakan langsung praktek memperlakukan anak yatim dengan baik, sebagaimana dikisahkan dalam shiroh Rasulullah SAW:

Di pagi hari yang cerah, Rasulullah Saw. bersama istrinya (Aisyah r.a.) hendak melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan. Di jalan, mereka melihat seorang bocah murung di tengah kerumunan anak-anak yang ceria merayakan datangnya Idul Fitri. Bocah murung tersebut terlihat termenung dengan penampilan kucel dan pakaian lusuh. Rasulullah Saw. (yang tidak tega melihat bocah tersebut) mendekat seraya berkata (sambil mengusap kepala sang bocah), “Wahai bocah, kenapa wajahmu tampak bersedih padahal disekelilingmu banyak anak-anak yang begitu bahagia merayakan Idul Fitri?” Bocah tersebut diam sejenak dan meneteskan air matanya sebelum menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana diriku tak bersedih? Ketika teman-temanku bergembira ria merayakan Idul Fitri, aku tidak punya siapa-siapa. Wahai Rasulullah, aku hanyalah sebatangkara. Aku tak memiliki ibu yang dijadikan tempat mengadu. Ayahku pun sudah tiada. Hidupku tak menentu. Aku hanya mengharapkan belas kasihan Allah sebagai Tuhan pemberi rezeki. Terkadang aku tak mendapatkan makanan satu atau dua hari. Aku hanya mengharapkan uluran tangan para dermawan untuk mendapatkan sesuap makanan.” Mendengar rintihan hati sang bocah, Rasulullah berkata sambil meneteskan air mata, “Wahai anak yang malang, maukah engkau tinggal bersama kami? Maukah engkau aku jadikan sebagai anakku? Dan maukah engkau menjadikan Ummul Mukminin sebagai ibumu?” Mendengar jawaban Rasulullah, spontan bocah tersebut berubah wajahnya menjadi berseri-seri. Harapan hidupnya sudah terbuka. Dirinya tidak merasa sendiri lagi. Bergantilah air mata sedih menjadi air mata kegembiraan.

Pemeliharaan dan pembinaan anak yatim bukan hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat fisik semata, seperti makanan, minuman, dan pakaian. Pembinaan yang dilakukan juga harus memperhatikan masalah psikisnya, seperti memberikan perhatian, kasih sayang, perlakuan lemah lembut, bimbingan akhlak, dan lain sebagainya. Dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman,:

“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Q.S. Adh-Dhuha : 9).
Artinya, kewajiban memberikan kasih sayang, pengajaran sopan santun, dan segala perlakuan yang baik berbanding lurus dengan kewajiban pemberian materi. Demikianlah Islam mengajarkan kepada kita untuk memperlakukan anak yatim dengan baik.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan

1.    Islam adalah agama ramah kepada semua. Anak merupakan bagian dari yang dimulyakan Islam. Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk menyayangi keluarga termasuk anak di dalamnya. Ini menandakan bahwa Rasul mengajarkan umatnya untuk ramah terhadap hak anak. Sabda Rasulullah Saw: "Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling penyayang kepada keluarganya. Islam juga mensyariatkan untuk memperhatikan kualitas generasi penerusnya, sebagaimana QS An-Nissa' ayat 9: Artinya:"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka?".
2.    Dalam Islam prinsip perlindungan anak merupakan ajaran universal dan bukan ajaran partikular. Ajaran universal adalah ajaran yang tidak dibatasi oleh lintas ruang dan waktu. Kapanpun dan dimanapun semangat perlindungan yang diajarkan oleh Islam hendaknya dapat menyemangati seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Jangan sampai harmonitas keluarga terkikis habis, karena persoalan labelisasi kekerasan pada agama. Bila ini terjadi, nama besar agama sebagai agama rahmat akan ternodai.
3.    Hanya dalam naungan Khilafah Islamiyah sajalah anak-anak Indonesia termasuk anak-anak di dunia mampu menjalani kehidupannya dengan bahagia, ceria, menyenangkan dan berkualitas,  karena adanya jaminan yang pasti dari Allah SWT.  Sekarang “Saatnya setiap kaum muslimin yang memiliki kepedulian untuk menuntaskan permasalahan yang dihadapi anak-anak sudah selayaknya mengambil Islam dan Khilafah sebagai diin dan sistem yang sempurna dan menjanjikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh alam”
4.    Salah satu entry point untuk menyelesaikan persoalan kekerasan berbasis agama adalah reinterpretasi terhadap ajaran Islam. Tujuannya dapat mem-breackdown prinsip universal ajaran agama agar benar-benar menjadi rahmat bagi semua orang. Ini akan menjadi pilar penting dalam pengarusutamaan perlindungan anak di lintas sektoral. Terlebih nilai dasar agama memiliki urgensi yang tinggi untuk membangun budaya anti kekerasan terhadap anak. Memang tidak semua bentuk dan jenis kekerasan anak atas nama agama dapat dinisbatkan pada pemahaman agama yang tekstual. Masih ada variabel lain yang turut menyumbang terjadinya perilaku kekerasan agama. Namun dibanding variabel lainnya, variabel ini cukup berpengaruh mendorong timbulnya perilaku kekerasan anak.
Wallahu a’lam 


DAFTAR PUSTAKA


Post a Comment for "HAK ANAK DAN PEMENUHAN HAK ANAK MENURUT PANDANGAN ISLAM"